Beberapa Minggu yang lalu, pada saat ngobrol dengan beberapa teman, terlontar sebuah pertanyaan dari salah seorang di antara mereka, “kamu punya facebook gak ? dengan agak malas aku menjawab “punya tapi jarang ngebukanya, kawan yang lain segera menyela obrolan, ah udah ! facebook itu kan haram kata MUI, yang lain ada lagi menjawab, ah ! MUI tidak ada kerjaan “ yang lain lagi segera menjawab “yang haram kan pengunaanya yang lain lagi segera angkat suara, kita kita ini kan ahli hisap (perokok red) , sudah sekalian aja kita bergelimang yang haram.
Percakapan di atas sebenarnya mewakili publik, terutama yang aktif di dunia maya, baik penggemar blogg, chatting, friendster, facebook dan sejenisnya.
Sebenarnya hal ini berawal sejak forum bathul masail putri (BMP) (semacam forum para ulama untuk membahas berbagai hal hal aktual yang menjadi permasalahan umat) di Pesantren putri Lirboyo kediri, ada sekitar 700 delegasi yang tergabung dalam FORUM KOMUNIKASI PONDOK PESANTREN PUTRI (FMP3) se Jawa dan Madura dan dari forum ini menghasilkan keputusan beberpa poin penting, di antaranya situs jejaring sosial (pertemanan) seperti blogg, chatting, friendster, facebook dan sejenisnya. Yang membuat keakraban dan kedekatan lawan jenis nyaris tanpa batas, bahkan nilai kesopanan dan etika agama sudah semakin samar , bahkan banyak obrolan yang vulgar bahkan bersifat sangat pribadi (menurut orang yang bermoral) dapat leluasanya diakses dengan hanya bergabung sebagai teman, Menjadi HARAM pengunaannya bila bila sudah melanggar etika secara Syar’e.
Bila kita mau menyimak apa yang di sampaikan oleh para ulama yang telah bekerja secara ikhlas untuk kemashlahatan Umat, tentu kita tidak akan terprovokasi oleh ketidak fahaman kita sendiri, sangat miris kalau kita membaca tanggapan dari pada penggemar situs jejaring sosial, terhadap wacana yang di gulirkan oleh para ulama tersebut, ada yang mengatakan ulama tidak mengikuti kemajuan zaman, ulama iri karena tidak bisa facebook, dunia pesantren kolot,atau hinaan yang lainnya, Dalam hal ini saya ingin sedikit memberikan komentar, “ saya bukan keluaran pesantren , tapi banyak mempunyai saudara , teman bahkan guru dari pesantren , sepengetahuan saya pesantren itu tidak seperti apa yang mereka gambarkan , pesantren ternyata punya fasilitas yang jarang dimiliki lembaga pendidikan yang lain, bahkan yang formal sekalipun, ini terbukti dari lulusan-lulusannya, kalau hanya soal komputer dari merakit sampai mengoprasikannya, bagi mereka adalah pekerjaan mudah, ini kalau modern itu di ukur dari kemampuannya mengendalikan teknologi yang satu ini.
Lalu apa yang mereka (Ulama) maksudkan berkenaan dengan situs jejaring sosial itu ? ternyata yang mereka haramkan adalah penggunaanya bila berlebihan dan tidak mengindahkan etika Syara’ yang jelas-jelas di haramkan dalam ajaran Islam, bukan pada medianya, atau situsnya, sebab situs tersebut adalah hasil dari kemajuan teknologi, dalam hal ini informasi yang bisa berdampak baik atau buruk tergantung siapa yang mengoprasionalkannya atau menjadi adminnya, seperti linggis di tangan seorang tukang yang dipakai untuk mencabut paku atau mencongkel kayu sebagai sarana pendukung untuk mempermudah atau meringankan pekerjaannya, maka linggis tersebut sah saja dan hukumnya mubah/boleh, maka bagaimana kalau lingggis tersebut ada di tangan pencuri , yang dipergunakan untuk mencongkel pintu korbannya, dengan perumpamaan ini tentunya kita faham yang haram bukan linggisnya tapi perbuatan orang yang menggunakannya, jadi kalau yang haram linggisnya , tentunya semua tukang tidak akan kita jumpai lagi menggunakan benda yang satu itu.
Alangkah mudahnya kita mengambil kesimpulan suatu hal yang berkaitan dengan hukum Islam, padahal di sampaikan para ulama dan mereka memang perkompeten dan faham dalam hal itu dan mereka bekerja ikghlas dengan hanya mengharap ridha Allah untuk kemashlahatan umat dan bangsa dalam segi moralitasnya, tanpa kita mencoba mencari penjelasannya. Maka dari hal ini mari biasakan sikap tabayyun dan prasangka baik . terlebih dalam hal ini yang menjadi sasaran adalah MUI, padahal mereka tidak terlibat dalam keputusan itu. Wallahu a’lam bissawab.
Percakapan di atas sebenarnya mewakili publik, terutama yang aktif di dunia maya, baik penggemar blogg, chatting, friendster, facebook dan sejenisnya.
Sebenarnya hal ini berawal sejak forum bathul masail putri (BMP) (semacam forum para ulama untuk membahas berbagai hal hal aktual yang menjadi permasalahan umat) di Pesantren putri Lirboyo kediri, ada sekitar 700 delegasi yang tergabung dalam FORUM KOMUNIKASI PONDOK PESANTREN PUTRI (FMP3) se Jawa dan Madura dan dari forum ini menghasilkan keputusan beberpa poin penting, di antaranya situs jejaring sosial (pertemanan) seperti blogg, chatting, friendster, facebook dan sejenisnya. Yang membuat keakraban dan kedekatan lawan jenis nyaris tanpa batas, bahkan nilai kesopanan dan etika agama sudah semakin samar , bahkan banyak obrolan yang vulgar bahkan bersifat sangat pribadi (menurut orang yang bermoral) dapat leluasanya diakses dengan hanya bergabung sebagai teman, Menjadi HARAM pengunaannya bila bila sudah melanggar etika secara Syar’e.
Bila kita mau menyimak apa yang di sampaikan oleh para ulama yang telah bekerja secara ikhlas untuk kemashlahatan Umat, tentu kita tidak akan terprovokasi oleh ketidak fahaman kita sendiri, sangat miris kalau kita membaca tanggapan dari pada penggemar situs jejaring sosial, terhadap wacana yang di gulirkan oleh para ulama tersebut, ada yang mengatakan ulama tidak mengikuti kemajuan zaman, ulama iri karena tidak bisa facebook, dunia pesantren kolot,atau hinaan yang lainnya, Dalam hal ini saya ingin sedikit memberikan komentar, “ saya bukan keluaran pesantren , tapi banyak mempunyai saudara , teman bahkan guru dari pesantren , sepengetahuan saya pesantren itu tidak seperti apa yang mereka gambarkan , pesantren ternyata punya fasilitas yang jarang dimiliki lembaga pendidikan yang lain, bahkan yang formal sekalipun, ini terbukti dari lulusan-lulusannya, kalau hanya soal komputer dari merakit sampai mengoprasikannya, bagi mereka adalah pekerjaan mudah, ini kalau modern itu di ukur dari kemampuannya mengendalikan teknologi yang satu ini.
Lalu apa yang mereka (Ulama) maksudkan berkenaan dengan situs jejaring sosial itu ? ternyata yang mereka haramkan adalah penggunaanya bila berlebihan dan tidak mengindahkan etika Syara’ yang jelas-jelas di haramkan dalam ajaran Islam, bukan pada medianya, atau situsnya, sebab situs tersebut adalah hasil dari kemajuan teknologi, dalam hal ini informasi yang bisa berdampak baik atau buruk tergantung siapa yang mengoprasionalkannya atau menjadi adminnya, seperti linggis di tangan seorang tukang yang dipakai untuk mencabut paku atau mencongkel kayu sebagai sarana pendukung untuk mempermudah atau meringankan pekerjaannya, maka linggis tersebut sah saja dan hukumnya mubah/boleh, maka bagaimana kalau lingggis tersebut ada di tangan pencuri , yang dipergunakan untuk mencongkel pintu korbannya, dengan perumpamaan ini tentunya kita faham yang haram bukan linggisnya tapi perbuatan orang yang menggunakannya, jadi kalau yang haram linggisnya , tentunya semua tukang tidak akan kita jumpai lagi menggunakan benda yang satu itu.
Alangkah mudahnya kita mengambil kesimpulan suatu hal yang berkaitan dengan hukum Islam, padahal di sampaikan para ulama dan mereka memang perkompeten dan faham dalam hal itu dan mereka bekerja ikghlas dengan hanya mengharap ridha Allah untuk kemashlahatan umat dan bangsa dalam segi moralitasnya, tanpa kita mencoba mencari penjelasannya. Maka dari hal ini mari biasakan sikap tabayyun dan prasangka baik . terlebih dalam hal ini yang menjadi sasaran adalah MUI, padahal mereka tidak terlibat dalam keputusan itu. Wallahu a’lam bissawab.
Silahkan baca artikel lainnya yang terkait dengan pos di atas
0 komentar
Posting Komentar
Sampaikan keritik dan saran anda