MagzNetwork

SYAREAT KHITAN

Diposting oleh Mastindi | 07.08 | | 0 komentar »
Libur kenaikan kelas sudah tiba, banyak yang menggunakan momen ini untuk berbagai macam kegiatan keluarga, baik yang bersifat umum seperti rekreasi,mudik, silaturrachim maupun kegiatan keagamaan seperti pesantren kilat dan khitan , yang terakhir inilah dipilih oleh keluarga kami (admin blogg) , lalu dari mana sich, Khitan ini asalnya ? tentunya dari Allah sumber perintahnya, adapun manusia pertama yang mendapat perintah Khitan adalah Nabiyullah Ibrahim AS pada saat memasuki usianya yang ke 80 tahun, Subhanallah ,... beliau hanya berkata sami’na wa ata’na (kami dengar dan kami laksanakan) .


Khitan berarti memotong kulup atau kulit yang menutupi ujung kemaluan seorang laki-laki (pada beberapa keterangan syareat khitan juga berlaku bagi perempuan), lalu apa hikmahnya, dari sisi syara khitan merupakan sunnat-sunnat fitrah yang di antaranya memotong kuku, mencukur kumis, memelihara jenggot dan mencukur bulu kemaluan, adapun dari sisi medis dengan berkhitan maka tempat berkumpulnya kotoran yang dalam syara disebut najis , yang berada pada ujung penis menjadi tidak ada, dan air seni dapat dapat leluasa keluar, adapun najis yang tersisa mudah dicuci, banyak riset tentang manfaat khitan baik yang dilakukan dunia kedokteran barat maupun dunia Islam, yang di antara hasilnya terhindarnya kanker ujung kemaluan bagi orang yang di khitan, oleh sebab itulah suka atau tidak, khitan juga di lakukan oleh kalangan non Muslim dengan motivasi utama adalah kesehatan atau medis.


Adapun Khitan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya sebenarnya merupakan salah satu kewajiban orang tua dalam hal pendidikan,(ada 3 kewajiban orang tua terhadap anak. 1. Memberi nama yang baik 2. Memberikan pendidikan yang baik 3. Menikahkan) sebab dalam khitan ada pendidikan fisik dan ada pendidikan Ruhiyah , adapun pendidikan fisik mengajarkan seorang anak untuk berani melihat darah, bahkan menumpahkan darah bila perlu, demi tegaknya amar ma’ruf nahi mungkar, sedangkan pendidikan dari sisi ruhiyahnya ialah mengajarkan seorang anak bersikap sabar , yang dicontohkan dengan menunggu kesembuhan, yakni sabar dalam mentaati Allah, dan Sabar dalam menjauhi maksiat, dan dengan di khitannya seorang anak maka secara usia sudah akan masuk pada masa Mukhallaf, yaitu masa kewajiban menjalankan perintah Allah,meskipun ini bukan ukuran standar. Wallahu a’lam bissawab

Tentang Facebook

Diposting oleh Mastindi | 01.33 | | 0 komentar »


Beberapa Minggu yang lalu, pada saat ngobrol dengan beberapa teman, terlontar sebuah pertanyaan dari salah seorang di antara mereka, “kamu punya facebook gak ? dengan agak malas aku menjawab “punya tapi jarang ngebukanya, kawan yang lain segera menyela obrolan, ah udah ! facebook itu kan haram kata MUI, yang lain ada lagi menjawab, ah ! MUI tidak ada kerjaan “ yang lain lagi segera menjawab “yang haram kan pengunaanya yang lain lagi segera angkat suara, kita kita ini kan ahli hisap (perokok red) , sudah sekalian aja kita bergelimang yang haram.
Percakapan di atas sebenarnya mewakili publik, terutama yang aktif di dunia maya, baik penggemar blogg, chatting, friendster, facebook dan sejenisnya.
Sebenarnya hal ini berawal sejak forum bathul masail putri (BMP) (semacam forum para ulama untuk membahas berbagai hal hal aktual yang menjadi permasalahan umat) di Pesantren putri Lirboyo kediri, ada sekitar 700 delegasi yang tergabung dalam FORUM KOMUNIKASI PONDOK PESANTREN PUTRI (FMP3) se Jawa dan Madura dan dari forum ini menghasilkan keputusan beberpa poin penting, di antaranya situs jejaring sosial (pertemanan) seperti blogg, chatting, friendster, facebook dan sejenisnya. Yang membuat keakraban dan kedekatan lawan jenis nyaris tanpa batas, bahkan nilai kesopanan dan etika agama sudah semakin samar , bahkan banyak obrolan yang vulgar bahkan bersifat sangat pribadi (menurut orang yang bermoral) dapat leluasanya diakses dengan hanya bergabung sebagai teman, Menjadi HARAM pengunaannya bila bila sudah melanggar etika secara Syar’e.
Bila kita mau menyimak apa yang di sampaikan oleh para ulama yang telah bekerja secara ikhlas untuk kemashlahatan Umat, tentu kita tidak akan terprovokasi oleh ketidak fahaman kita sendiri, sangat miris kalau kita membaca tanggapan dari pada penggemar situs jejaring sosial, terhadap wacana yang di gulirkan oleh para ulama tersebut, ada yang mengatakan ulama tidak mengikuti kemajuan zaman, ulama iri karena tidak bisa facebook, dunia pesantren kolot,atau hinaan yang lainnya, Dalam hal ini saya ingin sedikit memberikan komentar, “ saya bukan keluaran pesantren , tapi banyak mempunyai saudara , teman bahkan guru dari pesantren , sepengetahuan saya pesantren itu tidak seperti apa yang mereka gambarkan , pesantren ternyata punya fasilitas yang jarang dimiliki lembaga pendidikan yang lain, bahkan yang formal sekalipun, ini terbukti dari lulusan-lulusannya, kalau hanya soal komputer dari merakit sampai mengoprasikannya, bagi mereka adalah pekerjaan mudah, ini kalau modern itu di ukur dari kemampuannya mengendalikan teknologi yang satu ini.
Lalu apa yang mereka (Ulama) maksudkan berkenaan dengan situs jejaring sosial itu ? ternyata yang mereka haramkan adalah penggunaanya bila berlebihan dan tidak mengindahkan etika Syara’ yang jelas-jelas di haramkan dalam ajaran Islam, bukan pada medianya, atau situsnya, sebab situs tersebut adalah hasil dari kemajuan teknologi, dalam hal ini informasi yang bisa berdampak baik atau buruk tergantung siapa yang mengoprasionalkannya atau menjadi adminnya, seperti linggis di tangan seorang tukang yang dipakai untuk mencabut paku atau mencongkel kayu sebagai sarana pendukung untuk mempermudah atau meringankan pekerjaannya, maka linggis tersebut sah saja dan hukumnya mubah/boleh, maka bagaimana kalau lingggis tersebut ada di tangan pencuri , yang dipergunakan untuk mencongkel pintu korbannya, dengan perumpamaan ini tentunya kita faham yang haram bukan linggisnya tapi perbuatan orang yang menggunakannya, jadi kalau yang haram linggisnya , tentunya semua tukang tidak akan kita jumpai lagi menggunakan benda yang satu itu.
Alangkah mudahnya kita mengambil kesimpulan suatu hal yang berkaitan dengan hukum Islam, padahal di sampaikan para ulama dan mereka memang perkompeten dan faham dalam hal itu dan mereka bekerja ikghlas dengan hanya mengharap ridha Allah untuk kemashlahatan umat dan bangsa dalam segi moralitasnya, tanpa kita mencoba mencari penjelasannya. Maka dari hal ini mari biasakan sikap tabayyun dan prasangka baik . terlebih dalam hal ini yang menjadi sasaran adalah MUI, padahal mereka tidak terlibat dalam keputusan itu. Wallahu a’lam bissawab.

MENCEGAH KEMUNGKARAN

Diposting oleh Mastindi | 21.29 | | 0 komentar »


Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran maka cegahlah dengan tangannya, maka bila tidak mampu cegahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mapu juga cegahlah dengan hatinya, maka itulah selemah-lemah iman. (HR Bukhari Muslim)


Hadits tersebut merupakan anjuran agar kita mempunyai keperdulian secara sosial terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita , dengan tidak bersikap acuh padahal kita diberikan kemampuan mengatasi setiap problem kehidupan baik yang bersifat ekternal atau di luar keluarga kita maupun internal atau di dalam keluarga kita, dalam pepatah bahasa Arab dikatakan Assukutu ‘anil hal ya dzullu ‘alan ni’am (berdiam diri dari sesuatu menunjukkan kesetujuan). Atau dalam sebuah hadits Rasulullah menyatakan yang artinya (Barang siapa yang berdiam diri dari yang haq , maka ia adalah setan yang bisu). Pencegahan yang bisa kita lakukan tentunya disesuaikan dengan tingkat kemampuan kita, dalam hadits di atas manakala kita mampu cegah dengan tangan, sebagian ulama mengatakan tangan bermakna kekuasaan, yang maksudnya bagi yang mempunyai kekuasaan dalam segi struktur biroksasi semisal Rt, Rw lurah dan jabatan di atasnya sangatlah memungkinkan melakukan pencegahan terhadap terjadinya suatu bentuk kemungkaran dengan kuasa yang dimilikinya, terlebih memang itu menjadi wewenangnya, atau kita punya kapasitas dalam sebuah lembaga sebagai orang yang dituakan atau sebagai pemimpin, jadikan sarana jabatan kita sebagai kendaraan antuk dapat menghalangi suatu bentuk kemungkaran.
Adapun dengan lisan adalah para ulama, atau siapa saja yang suaranya mempunyai pengaruh, karena sifat umum manusia dalam menerima suatu pendapat atau nasihat akan melihat corong atau siapa yang bicara, hal ini penting karena nasehat terlebih dari hati ke hati akan membawa pengaruh yang cukup positif bagi pelaku kemungkaran untuk insyaf secara suka rela , bukan karena tekanan suatu kekuatan atau intimidasi suatu kekuasaan.
Dan yang terakhir dengan hati, kata hati di sini adalah dengan menunjukkan ketidaksukaan kita terhadap kemungkaran yang terjadi baik melalui sikap paling tidak raut muka yang mengindikasikan ketidaksetujuan kita terhadap terjadinya kemungkaran, dalam keadaan kita tidak mampu melakukan sesuatu, terlebih kemungkaran itu dilakukan oleh arang yang mempunyai pengaruh secara sosial , baik dalam segi birokrasi maupun kultur.
Tapi bila yang terakhir ini tidak bisa kita tunjukkan dengan alasan merasa tidak enak, atau emoh pakewuh, lalu kapan kita merasa tidak enak kepada Allah, padahal itu adalah tanda iman yang paling lemah,” maka pertanyaannya ,di mana iman kita ? atau bisa jadi iman kita telah lenyap , dari hati kita naudzu min dzalik

ADAB BERMAJLIS

Diposting oleh Mastindi | 00.58 | | 0 komentar »
Risalah Islam bukanlah merupakan risalah setempat dan terbatas, yang khusus bagi
suatu generasi atau suku bangsa tertentu seperti risalah-risalah sebelumnya, tetapi Islam
adalah risalah yang universal dan sempurna, yang mencakup segala aspek kehidupan, baik
perseorangan maupun kolektif, mulai dari perkara ibadah, hukum, politik, ekonomi, pendidikan,
dan lain sebagainya. Kesempurnaan Islam ini tidak luput membahas tentang adab-adab dalam
bermajelis, dimana tidak sedikit dari kaum muslimin, terutama para aktivis muslim, bermajelis
dan bermusyaw arah dalam kesehariannya. Mengetahui adab-adab dalam majelis adalah suatu
keniscyaan dan keutamaan tersendiri sebagai pengejaw antahan firman Allah _ :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.”5 (QS Al Israa’ 17 : 36).

Dan sabda Nabi _ :

(“Menuntut ilmu wajib bagi tiap Muslim”.)

Maka adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk mengetahui ilmunya terlebih dahulu
sebelum beramal, sebagaimana Imam Bukhari telah menjadikan bab العام قبل القول والعمل “Ilmu
sebelum berkata dan beramal”. Berikut ini adalah adab-adab dalam bermajelis 6 :

1. Mengucapkan salam kepada ahli majelis jika ia hendak masuk dan duduk pada majelis
tersebut, hendaknya ia mengikuti majelis tersebut hingga selesai. Jika ia hendak
meninggalkan majelis tersebut, ia harus meminta izin kepada ahli majelis lalu mengucapkan
salam.

2. Tidak menyuruh seseorang berdiri, pindah atau bergeser agar ia menempati tempat
duduknya, dan selayaknya bagi ahli majelis yang telah duduk dalam majelis
merenggangkan tempat duduknya, agar seseorang yang mendatangi majelis tadi
mendapatkan tempat duduk. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah :

“Janganlah kalian menyuruh temannya bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi
hendaklah kamu memperluasnya.” (Muttafaq ‘alaihi).

3. Tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk agar ia dapat duduk di tengahtengahnya,
kecuali dengan seizinnya, sebagaimana dalam hadits Rasulullah _

“Tidak halal bagi seorang laki-laki duduk di antara dua orang dengan memisahkan mereka
kecuali dengan izinnya.” (HR Abu Daw ud dan Turmudzi, hadits Hasan)

4. Apabila seseorang bangkit dari tempat duduknya meninggalkan majelis kemudian kembali
lagi, maka ia lebih berhak duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Sebagaimana dalam
sabda Nabi _ :

“Apabila seseorang bangkit dari duduknya lalu ia kembali, maka ia lebih berhaq duduk di
tempatnya tadi.” (HR Abu Daw ud dan Turmudzi, hadits Hasan)

5. Tidak duduk di tengah-tengah halaqoh/majelis, dalilnya :


“Rasulullah _ melaknat orang yang duduk di tengah-tengah halaqoh.” (Abu Daw ud)7

6. Seseorang di dalam majelis hendaknya memperhatikan adab-adab sebagai ber ikut :

- Duduk dengan tenang dan sopan, tidak banyak bergerak dan duduk pada
tempatnya.

- Tidak menganyam jar i, mempermainkan jenggot atau cincinnya, banyak
menguap, memasukkan tangan ke hidung, dan sikap-sikap lainnya yang
menunjukkan ketidakhormatan kepada majelis.
- Tidak terlalu banyak berbicara, bersenda gurau ataupun berbantah-bantahan
yang sia-sia.
- Tidak berbicara dua orang saja dengan berbisik-bisik tanpa melibatkan ahli
majelis lainnya.
- Mendengarkan orang lain berbicara hingga selesai dan tidak memotong
pembicaraannya.
- Bicara yang perlu dan penting saja, tanpa perlu berputar-putar dan berbasa-basi
ke sana ke mari.
- Tidak berbicara dengan meremehkan dan tidak menghormati ahli majelis lain,
tidak merasa paling benar (ujub) dan sombong ketika berbicara.
- Menjawab salam ketika seseorang masuk ke majelis atau meninggalkan majelis.
- Tidak memandang ajnabiyah (w anita bukan mahram), berbasa-basi dengannya,
ataupun melanggar batas hubungan lelaki dengan w anita muslimah bukan
mahram, baik kholwat (berdua-duaan antara laki-laki dan w anita bukan mahram)
maupun ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan bukan
mahram).
7. Disunnahkan membuka majelis dengan khutbatul hajah sebagaimana lafadhnya dalam
muqoddimah di aw al risalah ini, dimana Rasulullah _ senantiasa membacanya setiap akan
khuthbah, ceramah, baik pada pernikahan, muhadharah (ceramah) ataupun pertemuan,
dan sunnah inipun dilanjutkan oleh sahabat-sahabat lainnya dan para as-Salaf Ash-sholeh8.
8. Disunnahkan menutup majelis dengan do’a kafaratul majelis. Lafadhnya adalah sebagai

berikut :

Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada
sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan
bertaubat kepada-Mu.” (HR. Turmudzi, Shahih).

Diriw ayatkan pula oleh Turmudzi, ketika
Nabi ditanya tentang do’a tersebut, beliau menjawab, untuk melunturkan dosa selama di
majelis.

ADAB DALAM MAJLIS

Diposting oleh Mastindi | 00.47 | | 0 komentar »
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS 58;11)
Tak dapat terbantahkan lagi, belajar atau menuntut ilmu di dalam islam merupakan sesuatu yang wajib, tidak mesti di sebuah lembaga formal, seperti sekolah atau kampus, dan tidak ada batasan usia di dalamnya karena intinya kita tidak boleh bodoh .
Islam tidak pernah membeda-bedakan sebuah ilmu , baik itu umum maupun agama (terkecuali sihir dan sejenisnya, karena sudah jelas keharamannya) karena ilmu itu adalah milik Allah, dalam banyak ayat dan hadits dijelaskan baik secara global maupun spesifik tentang hal itu.
Untuk mendapatkan ilmu ada yang dilakukan secara sendiri, baik melalui buku, internet maupun secara privat , dan dalam hal ini tidak banyak aturan yang perlu diterapkan, karena secara umum belajar seperti ini dilakukan secara pribadi, di rumah sendiri dan jauh dari melibatkan pihak ketiga, dengan demikian kita bebas menetapkan model belajar bagaimana yang kita inginkan. Namun bagaimana kalau kita belajar secara kolektif & melibatkan orang banyak, maka dalam hal ini perlu etika dan adab yang baku dalam sebuah KBM (kegiatan belajar mengajar), agar tujuan pembelajaran menjadi jelas targetnya, baik dalam segi waktu maupun kurikulumnya. Dan di antara hal itu adalah adab atau etika pada saat kita belajar, agar suasana belajar menjadi kondusif, tenang dan guru dapat menjelaskan isi materi secara detil dan para jamaah dapat menyimak uraian yang di sampaikan tanpa ada gangguan dari suasa yang tidak sepantasnya terjadi dalam sebuah majelis ilmu, apalagi majelis itu dilakukan dalam mosallah atau masjid.
Ayat di atas secara gamblang memaparkan adab dalam majelis, mulai dari perintah melapangkan waktu untuk bermajelis, sampai pada etika atau aturan majelis yang di simbolkan dengan perintah berdiri, kalau memang itu untuk kebaikan majelis juga derajat kemulyaan bagi orang yang senantiasa menghidupkan majelis.
Kunci atau penutup ayat di atas hendaklah juga menjadi renungan bagi kita dalam menciptakan suasana belajar yang baik, karena tidak mustahil di antara rekan kita ada yang memang datang dari jauh dengan niat untuk mendapatkan ilmu , namun pada saat masuk dalam majelis, tercipta suatu kondisi yang tidak semestinya dari jamah yang lain , yang mungkin merasa apa yang disampaikan guru sudah ia ketahui, atau ia merasa tidak perlu untuk mendengarnya, jelas hal seperti itu tidak sepantasnya terjadi dalam sebuah majelis .
Sebagai perluasan dari sedikit tausiah ini saya memaparkan adab dalam majelis , yang diterjemahkan dari kitab minhajul muslimin, pada postingan setelah ini.