MagzNetwork

Kiai Maimun dan Wahhabi

Diposting oleh Mastindi | 21.17 | | 0 komentar »

Pertemuan Mbah Mun dan Kyai Najih
KH. Maimun Zubair (Mbah Mun) rahimahullah pernah debat dengan KH. Najih Achjad Maskumambang rahimahullah (tokoh Masyumi), Dalam debat itu mbah Mun mengakui keilmuan kyai Najih, bahkan mbah Mun mengaku hampir kalah debat dg Kyai Najih. Saking terinspirasinya mbah Mun dg Kyai Najih, sampai mbah Mun berharap kalau punya anak laki-laki akan dikasih nama "Najih", kebetulan beberapa hari setelah itu istri mbah Mun melahirkan bayi, maka mbah Mun menamai bayi itu dengan NAJIH, yang sekarang populer dengan sebutan GUS NAJIH.
Kyai Najih Achjad sendiri termasuk yang mempopulerkan kitab Tauhid syaikh Muhamammad bin abdul wahhab di pondok Maskumambang +- tahun 70an. Kyai Najih merupakan mantunya Kyai Ammar Faqih Maskumambang yang terkenal dengan ke"wahhabiyahannya". Sedangkan ayahnya kyai Ammar adalah Kyai Faqih Tokoh besar NU di zamannya, teman mbah hasyim asy'ari dan penentang keras ajaran "wahabi". Di sinilah letak keunikannya, kyai Faqih yang keras terhadap wahhabi justru tak diikuti oleh anaknya yaitu kyai Ammar. Setelah kyai Ammar pulang dari belajar di Mekkah beliau berubah haluan menjadi " wahhabi. Dan setelah kyai faqih wafat, kyai Ammar mengubah corak pondok maskumambang Gresik yang dulunya berpaham tradisionalis Nu menjadi "wahhabi". Setelah kyai Ammar wafat pada tahun 1965, pondok maskumambang dipegang Kyai Najih, dan di masanya kitab tauhid karya Syaikh MBAW dijadikan materi Ajar.
Kembali ke MBAH MUN, .........
Mbah Mun pernah menceritakan dirinya ketika menuntut ilmu: "aku pernah dipethukno Najih, Najih iku Muhammadiyah cekrek, debat kale kulo, Najih iki nemen, ape ziarah kubur wae gak oleh, aku meh kalah debat........wis aku nek moleh, nek ndduweh anak, tak jenengi Najih (Gus Najih), pas tuk omah bojoku hamil tuwo, pirang ndino metu tak jenengi Najih, molane de'e kadang- kadang ora biso awur karo uwong. Najih solae podo karo Najih mantune kyai Ammar......(kata mbah mun: makanya, kadang2 Anakku Najih ini kurang bisa begaul dg orang lain, seperti gaya Kyai Najih menantunya Kyai Ammar).
Bisa dicek di YouTube, Mbah Mun mengungkap dan menceritakannya dalam bbrp kesempatan dg redaksi yang berbeda-beda. Tapi subtansinya sama.

 

Apakah Benar bahwa Sholahudin Al Ayubi Pencetus MAULID NABI ?
Ada sebuah kisah yang cukup masyhur di negeri nusantara ini tentang peristiwa pada saat menjelang Perang Salib.
Ketika itu kekuatan kafir menyerang negeri Muslimin dengan segala kekuatan dan peralatan perangnya.
Demi melihat kekuatan musuh tersebut, sang raja muslim waktu itu, Sholahuddin al-Ayyubi, ingin mengobarkan semangat jihad kaum muslimin.
Maka beliau membuat peringatan maulid nabi.Dan itu adalah peringatan maulid nabi yang pertama kali dimuka bumi.
Begitulah cerita yang berkembang sehingga yang dikenal oleh kaum Muslimin bangsa ini, penggagas perayaan untuk memperingati kelahiran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini adalah Imam Sholahuddin al Ayyubi.
Akan tetapi benarkah cerita ini? Kalau tidak, lalu siapa sebenarnya pencetus peringatan malam maulid nabi?
Dan bagaimana alur cerita sebenarnya?
Kedustaan Kisah Ini
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata.
Tidak ada satu pun kitab sejarah terpercaya –yang secara gamblang dan rinci menceritakan kehidupan Imam Sholahuddin al Ayyubi- menyebutkan bahwa beliau lah yang pertama kali memperingati malam maulid nabi.
Akan tetapi, para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara (yang menganut keyakinan) Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah Fathimiyyah.
Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali:
“Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.”
Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfizh dalam al ‘Ibda’ hal.126.
Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata:
“Para kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya.
Yaitu perayaan tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid kholifah.
(Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]
Kalau ada yang masih mempertanyakan: bukankah tidak hanya ulama yang menyebutkan bahwa yang pertama kali membuat acara peringatan maulid nabi ini adalah raja yang adil dan berilmu yaitu Raja Mudhoffar penguasa daerah Irbil?
Kami jawab: Ini adalah sebuah pendapat yang salah berdasarkan yang dinukil oleh para ulama tadi.
Sisi kesalahan lainnya adalah bahwa Imam Abu Syamah dalam al Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal hHawaditshal.130 menyebutkan bahwa raja Mudhoffar melakukan itu karena mengikuti Umar bin Muhammad al Mula, orang yang pertama kali melakukannya.
Hal ini juga disebutkan oleh Sibt Ibnu Jauzi dalam Mir’atuz Zaman: 8/310.
Umar al Mula ini adalah salah seorang PEMBESAR SUFI , maka tidaklah mustahil kalau Syaikh Umar al Mula ini mengambilnya dari orang-orang Ubaidiyyah.
Adapun klaim bahwa Raja Mudhoffar sebagai raja yang adil, maka urusan ini kita serahkan kepada Allah akan kebenarannya.
Namun, sebagian ahli sejarah yang sezaman dengannya menyebutkan hal yang berbeda. Yaqut al Hamawi dalam Mu’jamul Buldan 1/138 berkata:
“Sifat raja ini banyak kontradiktif, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya, dan senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.” [lihat al Maurid Fi ‘Amanil Maulid kar.al Fakihani – tahqiq Syaikh Ali- yang tercetak dalam Rosa’il Fi Hukmil Ihtifal Bi Maulid an Nabawi: 1/8]
Alhasil, pengingatan maulid nabi pertama kali dirayakan oleh para raja Ubaidiyyah di Mesir.
Dan mereka mulai menguasai Mesir pada tahun 362H.
Lalu yang pertama kali merayakannya di Irak adalah Umar Muhammad al Mula oleh Raja Mudhoffar pada abad ketujuh dengan PENUH kemewahan.
Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu, diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata:
“Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah.
As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan LIMA RIBU daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan ringan…”
Imam Ibnu Katsir juga berkata:
“Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para TOKOH SUFI .
Sang raja pun menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu BERNYANYI dimulai waktu dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut BERJOGET bersama mereka.”
Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan:
“Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah.
Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak.
Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para PENYANYI.
Dan bila MAULID kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara TEROMPET dan NYANYIAN sampai tiba dilapangan.”
Dan pada malam maulid, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di benteng.”
Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara Ubaidiyyah. [1]
Siapakah Gerangan Sholahuddin al Ayyubi [2]
Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini.
Beliau lahir di Tkrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.
Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya.
Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.
Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya.
Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia.
Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau.
Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis.
Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di daerah Hithin.

 

bahanya musik

Diposting oleh Mastindi | 04.29 | | 0 komentar »

Cuma karena mendengar musik, ada seorang perawi hadits ditinggalkan riwayatnya.
Diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala’ (5: 184) bahwa Al-Minhal bin ‘Amr Al-Asadi yang meninggal tahun 110-an Hijriyah diceritakan sebagai berikut.
“Syu’bah meninggalkan periwayatan dari Al-Minhal cuma karena ia mendengar alat musik di rumahnya.”
Versi lainnya, Syu’bah pernah mendatangi rumah Al-Minhal lalu ia mendengar suara at-tunbur (sejenis alat musik) di dalam rumahnya. Syu’bah pun langsung pulang dan tidak bertanya lagi tentang hadits pada Al-Minhal. (Disebutkan dalam Adh-Dhu’afa’, 4: 237)
IBRAH …
Coba renungkan segitu bahayanya musik sampai membuat riwayat hadits tertolak.
Keadaan kita saat ini sudah terbiasa mendengarnya. Ada yang tidak disengaja dan berlalu begitu saja. Namun kadang kita menikmatinya dengan kesengajaan. Bahkan di gadget atau telepon genggam, kita pun enak menikmatinya.
Siapakah yang lebih hati-hati menjaga hati, mereka para ulama ataukah kita?
Ya Allah lindungilah pendengaran kami dari hal yang sia-sia. Jadikanlah pendengaran kami lebih senang untuk mendengar Kalam-Mu.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى
“Allahumma inni a’udzu bika min syarri sam’ii, wa min syarri basharii, wa min syarri lisanii, wa min syarri qalbii, wa min syarri maniyyi”
(artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari kejelakan pada pendengaranku, dari kejelakan pada penglihatanku, dari kejelekan pada lisanku, dari kejelekan pada hatiku, serta dari kejelakan pada mani atau kemaluanku). (HR. An-Nasa’i, no. 5446; Abu Daud, no. 1551; Tirmidzi, no. 3492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Hanya Allah yang memberi taufik.
.

 

Hubungan Wahhabi dgn Soekarno

Diposting oleh Mastindi | 19.26 | | 0 komentar »

Sekilas Tentang Sang Proklamator.
Dalam masa itu Makkah era tahun 1930_an Miladiyah (Masehi) telah terjadi peristiwa bersejerah bagi bumi Hijaz, Dinasti Alu Sa'ud dibawah Abdul Aziz Alu Sa'ud rohimahulloh melakukan penakhlukan terhadap kekuasan Syarif Husain HAROMAIN (Makkah & Madinah) di tahun 1924 kemudian Makkah tahun 1925.
Perkembangan Makkah telah dijadikan momen Terbaik bagi kaum muslimin Indonesia untuk berusaha turut serta bergembira atas penyatuan kembali para kabilah kabilah Arab yang lama saling bertikai dibawah Amir Abdul Aziz Alu Sa'ud rohimahulloh pemimpin SAUDI era ketiga Setelah 2 era sebelumnya di tumbangkan wilayah kekuasannya oleh pihak Turki Ottoman lewat para gubernurnya di Mesir era Muhammad Ali Basya.
Salah satu peristiwa penting diantaranya diterjemahkannya buku OETOSAN WAHABI yang menjadi sebuah buku pesanan Ir.SOEKARNO kelak dalam masa pembuangannya di ENDEH beliau berkirim Surat kepada tokoh yang tervonis sebagai wahabi yaitu A HASAN
🔎 Wahabi dimata Bung Karno.
Beberapa ulasan mengenai Wahabi yang dituliskan Bung Karno menjadi rujukan sejarah yang patut kembali kita angkat. Mari kita simak bagaimana pandangan Ir. Soekarno mengenai Wahabi. Tulisan-tulisan Bung Karno ini merupakan kumpulan surat yang beliau kirim kepada A. Hasan di Bandung, kala beliau diasingkan di Ende, Pulau Flores Nusa Tenggara Timur. Dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi” tulisan tersebut terhimpun dalam judul “Surat-surat Islam dari Endeh”.
Surat pertama yang dikirim Bung Karno tertanggal 1 Desember 1934. Dalam surat yang ditujukan kepada Syeikh A. Hasan, Bung Karno meminta dikirimi beberapa buah buku salah satunya berjudul “Utusan Wahabi”. Bung Karno pun didalam surat tersebut memberikan gambaran mengenai kondisi umat Islam yang beliau saksikan kala itu ” Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal “sayid” itu, maka toh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum “sayid”(dimasa kita disebut habib habaib yg merupakan keturunan rosululloh صلى الله عليه وسلم ), misalnya mereka punya brosur “bukti kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”. Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan!”
Kitab Oetoesan Wahabi ternyata merupakan sebuah salinan dari sebuah kitab berjudul “Al Hadiyyah as Saniyyah” karya seorang ulama Wahabi Nejd yang bernama Syaikh Sulaiman bin Sahman, dengan beberapa ringkasan dan tambahan yang disisipkan oleh penyalinnya.
Pada bagian cover kitab, kita akan dapati beberapa informasi penting :
1. Hak penerbitan kitab ini ada pada sebuah organisasi yang bernama “Perhimpoenan Idh-haroel Haq”. Pada cover terdapat larangan terhadap pihak lain untuk melakukan pengutipan dan penyalinan tanpa seizin organisasi tersebut atau penyalinnya ;
2. Kitab ini dicetak dan diedarkan oleh “Drukkerij Boro-Budur” yang beralamat di Pintoe Besar 52 Bt (Batavia/Jakarta).
3. Terdapat review singkat tentang isi kitab sebagai berikut :
“Menerangkan haloean, toedjoean dan kepertjajaannja pendoedoek kota Nadjed, jang termasjhoer dengan nama Wahabi, terhaep kepada Agama Islam jaitoe dengan beralasan Al Quran dan Hadits jang benar, serta pendapetannja Oelama-Oelama Islam jang sahih.”
Kitab Oetoesan Wahabi ini secara umum merupakan salinan (terjemahan) atas sebuah kitab yang berjudul “Al Hadiyyah as Saniyyah” karya Syaikh Sulaiman bin Sahman, dengan beberapa ringkasan dan tambahan-tambahan.
Siapakah Syaikh Sulaiman bin Sahman ini ? Apakah Beliau cukup otoritatif mewakili ulama Wahabi ?
Syaikh Sulaiman bin Sahman (wafat 1349 H) merupakan murid dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, penulis kitab Fathul Majid syarah Kitab at Tauhid yang terkenal itu. Syaikh Sulaiman juga belajar kepada Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan dan Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif. Jadi Syaikh Sulaiman bin Sahman belajar kepada 3 generasi keluarga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dari kakek (Syaikh Abdurrahman), anak (Syaikh Abdul Lathif), dan cucu (Syaikh Abdullah). Melihat profil Beliau ini, maka tak ada lagi keraguan mengenai “kewahabian” Syaikh Sulaiman bin Sahman ini.
Kitab Al Hadiyyah As Saniyyah sendiri sebenarnya merupakan kumpulan tulisan/risalah para ulama Wahab yang sengaja dikumpulkan oleh Syaikh Sulaiman bin Sahman dalam rangka menjelaskan hakikat dakwah yang dibawa oleh ulama-ulama Wahabi Nejd, pembelaan terhadapnya, serta untuk meluruskan kebohongan-kebohongan yang dibuat-buat oleh sebagian kalangan untuk menjatuhkan nama Wahabi. Kitab ini sendiri diterbitkan atas perintah dari Sultan ‘Abdul Aziz bin Su’ud.
Judul lengkap kitab ini sebagaimana tertulis dalam cover kitab ini adalah “Al Hadiyyah as Saniyyah wa at Tuhfah al Wahabiyyah an Najdiyyah li Jami’ Ikhwanina al Muwahiddin min Ahlil Millah al Hanifiyyah wa ath Thariqah al Muhammadiyyah”.
Syaikh Sulaiman bin Sahman dalam muqaddimah kitabnya ini juga menamakan kitab ini dengan “Rasaa-il A-immatu Najd wa Ulamaa-uha fi Ad Da’wah Al Wahabiyyah li Tajdid Al Islam”.
Kitab Al Hadiyyah as Saniyyah terdiri atas 5 risalah, yaitu :
1. Risalah pertama ditulis oleh Al Imam Abdul Aziz bin Imam Muhammad bin Su’ud rahimahumullah. Risalah ini secara umum berisi penjelasan mengenai hakikat tauhid dan ibadah kepada Allah. Dalam risalah ini juga dijelaskan makna syirik, serta dibahas isu-isu seperti meminta pertolongan kepada makhluk, tawassul, bersumpah dengan selain nama Allah, dan lain-lain. Risalah ini di kemudian hari dicetak secara terpisah
4. Risalah keempat ditulis oleh Syaikh Hamd bin Nashir bin Utsman Alu Mu’amar an Najdi at Tamimi. Beliau merupakan murid dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Risalah ini diberi judul “Al Fawakihul ‘Idzab fi Raddu ‘ala Man lam Yuhakkimu as Sunnah wal Kitab”. Risalah ini ditulis sebagai jawaban yang disampaikan oleh Syaikh Hamd bin Nashir ketika Beliau berdiskusi dengan dengan ulama-ulama Makkah mengenai 3 isu utama, yaitu (1) tentang orang yang menyeru kepada para nabi dan wali serta beristighatsah dengan mereka dalam melepaskan kesulitan ; (2) tentang hukum orang yang mengucapkan syahadatain namun tidak shalat ; dan (3) tentang membangun bangunan di atas kuburan. Risalah ini telah dicetak secara terpisah. Muhaqqiq risalah ini memberi sedikit catatan bahwa terjadi kekeliruan dalam pelafalan nama penulis risalah yang ada dalam Al Hadiyah as Saniyah. Pada Al Hadiyah as Saniyah tertulis nama penulis risalah ini adalah “Syaikh Ahmad bin Nashir”, dan yang benar adalah “Syaikh Hamd bin Nashir”. Kekeliruan yang ada pada Al Hadiyah as Saniyah ini ikut terbawa pada Kitab Oetoesan Wahabi.
4. Risalah keempat ditulis oleh Syaikh Hamd bin Nashir bin Utsman Alu Mu’amar an Najdi at Tamimi. Beliau merupakan murid dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Risalah ini diberi judul “Al Fawakihul ‘Idzab fi Raddu ‘ala Man lam Yuhakkimu as Sunnah wal Kitab”. Risalah ini ditulis sebagai jawaban yang disampaikan oleh Syaikh Hamd bin Nashir ketika Beliau berdiskusi dengan dengan ulama-ulama Makkah mengenai 3 isu utama, yaitu (1) tentang orang yang menyeru kepada para nabi dan wali serta beristighatsah dengan mereka dalam melepaskan kesulitan ; (2) tentang hukum orang yang mengucapkan syahadatain namun tidak shalat ; dan (3) tentang membangun bangunan di atas kuburan. Risalah ini telah dicetak secara terpisah. Muhaqqiq risalah ini memberi sedikit catatan bahwa terjadi kekeliruan dalam pelafalan nama penulis risalah yang ada dalam Al Hadiyah as Saniyah. Pada Al Hadiyah as Saniyah tertulis nama penulis risalah ini adalah “Syaikh Ahmad bin Nashir”, dan yang benar adalah “Syaikh Hamd bin Nashir”.
5.Risalah kelima ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Syaikh Abdul Lathif bin Syaikh Abdurrahman bin Hasan. Risalah ini berisi penjelasan mengenai aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di kemudian hari, risalah ini ikut dicetak di dalam kitab Ad Durar as Saniyyah fi Ajwibatil an Najdiyyah
Tapi di oetasan wahabi tidak ikut diterjemahkan. Wallohu A'lam
Tak heran jika kemudian setelah membaca buku OETOSAN WAHABI Presiden Sukarno Memuji Gerakan Pemurnian Agama “Wahabisme”
Di buku yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi” (yaitu kumpulan tulisan dan pidato-pidato beliau) jilid pertama, cetakan kedua,tahun 1963. pada halaman 390, beliau mengatakan sebagai berikut :
((” Tjobalah pembatja renungkan sebentar “padang-pasir” dan “wahabisme” itu. Kita mengetahui djasa wahabisme jang terbesar : ia punja kemurnian, ia punja keaslian, – murni dan asli sebagai udara padang- pasir, kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada islam dizamanja Muhammad!”
Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu satu tahajul dan seribu satu bid’ah.”
Lemparkanlah djauh-djauh tahajul dan bid’ah itu, tjahkanlah segala barang sesuatu jang membawa kemusjrikan! ….))
Bahkan beliau rela meluangkan WAKTU untuk menerjemahkan buku berbahasa Inggris tentang biografi MUHAMMAD BIN SA'UD rohimahulloh, beliau berkata dalam buku Dibawah Bendera Revolusi ;
Maka sekarang lagi asjik mengerjakan terdjemahan sebuah buku Inggeris jang mentarichkan IBNU SAUD. Bukan main haibatnja ini biography ! jang menarik hati, Tebalnja buku Inggeris itu ---format TUAN punja "Al Lisan"--- adalah 300 muka, terdjemahan Indonesia akan djadi 400 muka.
Selanjutnya Soekarno menyatakan tentang buku itu
“Ia adalah menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan elemen amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum “tafakur” dan kaum pengeramat Husain c.s. akan kehilangan akal nanti sama sekali.”
“Towering above all Moslems of his time; an immense man, tremendous, vital, dominant, A giant thrown up out of the Chaos and agony of the desert, – to rule, following the example of his Great teacher, Mohammad”
Tidak heran kita atas kekagumannya Soekarno ini karena dalam sejarah hidupnya memang dia kagum dengan tokoh tokoh yang terinpirasi oleh WAHABI meski KW bukan asli yang belajar dengan masyayikh ulama yang menjadi murid dan anak keturunannya penerus dakwah sang MUJADDID ASY SYAIKH MUHAMMAD BUN ABDULWAHHAB rohimahulloh diantara tokoh yang dikaguminya semisal Kyai Ahmad Dahlan dimana dia Ir Soekarno sebagaimana dikutip bapak Harder Nashir, dimana Ir Soekarno berkata ;
"Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad Dahlan, sehingga mengintilnya, tahun 1938 saya resmi menjadi anggota."
Anggota perhimpunan yang dibikin oleh kyai Ahmad Dahlan, Ahmad Dahlan memang waktu itu telah divonis sebagai wahabi dan dalam lawatan keduanya ke Makkah beliau bertemu dengan tokoh yang telah memuji wahabi, yaitu Muhammad Rasyid Ridha dimana dia berkata :
" Pada masa kecilku, aku sering mendengar cerita tentang Wahhabiyah dari buku-buku Dahlan, dan selainnya. Sayapun membenarkannya karena taqlid kepada guru-guru kami dan bapak-bapak kami. Saya baru tahu tentang hakikat jama’ah ini setelah hijrah ke Mesir. Ternyata aku mengetahui dengan yakin bahwa mereka (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya) yang berada di atas hidayah. Kemudian saya telaah buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, anak-anaknya, dan cucu-cucunya serta ulama-ulama lainnya dari Nejed, maka saya mengetahui bahwa tidak sebuah tuduhan serta celaan yang dilontarkan kepada mereka kecuali mereka menjawabnya. Jika tuduhan itu dusta mereka berkata, Maha Suci Engkau (Ya, Allah), ini adalah kedustaan yang besar. Tetapi jika tuduhan itu ada asalnya, mereka menjelaskan hakikatnya dan membantahnya. Sesungguhnya Ulama Sunnah dari India dan Yaman telah meneliti, membahas dan menyelidiki tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan bahwa para pencela itu tidak amanah dan tidak jujur.
Muqaddimah Syiyanatul Insan hal. 29-30
Jadi memang Kyai Ahmad Dahlan menurut Salah seorang muridnya – KRH. Hadjid – menceritakan tentang buku-buku yang dibaca dan diajarkan oleh gurunya tersebut dengan mengatakan bahwa :
“Pada mulanya kitab yang dipelajari adalah kitab yang biasa dipelajari kebanyakan ulama di Indonesia dan ulama Makkah. Misalnya dalam ilmu Aqaid ialah kitab-kitab beraliran Ahlussunnah Wal Jamaah. Ilmu Fiqih menggunakan kitab dari madzhab Syafi’iyyah,.....Juga membaca Tafsir al Manar karya Rasyid Ridha.......Kitab fil Bid’ah karya Ibnu Taimiyah sebagaimana kitab at Tawassul wal Wasilah, Kitab Izharul Haq karya Rahmatullah al Hindi dan kitab Hadits karya ulama madzhab Hanbali.”
(selesai nukilan, diambil dari Kitab Pelajaran KHA Dahlan)
Dari uraian diatas tentang Kyai Ahmad Dahlan yang dikagumi oleh Ir Soekarno Dan buku OETOSAN WAHABI kita bisa tarik benang merah jalan KEROHANIAN anak keturunan BRAWIJAYA V ini. Membicarakan BRAWIJAYA V juga mengingatkan kita atas rintisan awal bagi dakwah yang dituding sebagai WAHABI ini Dan ini justru pernah muncul dilingkup KODAM V BRAWIJAYA berikut kisahnya ;
Pada tahun 1972, seorang da’i yang bernama Drs. Dja’far Soedjarwo diketahui telah mengajarkan Kitabut Tauhid secara rutin sampai dengan selesai di dalam lingkungan militer, tepatnya di Komando Daerah Militer (Kodam) VIII/Brawijaya Malang. Pengalaman ini sangat menarik, karena boleh jadi inilah pertama kalinya karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diajarkan di lingkungan non pesantren.
Drs. Dja’far Soedjarwo memberikan kesaksian, sebagaimana kami kutip dalam buku “Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam” :
“Kitab Tauhid oleh Syekhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab yang disajikan oleh Mustafa al Alim dalam bahasa Arab, pada tahun 1972 saya ajarkan kepada anggota staf Komando Daerah Militer VIII/Brawijaya yang beragama Islam dalam bentuk stensilan setelah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada jam-jam Pendidikan Rohani Islam. Pendidikan Rohani Islam saya berikan setiap hari kamis, saya ambilkan dari Kitab Tauhid tersebut, satu lembar bolak-balik yang sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kepada staf Kodam VIII/BRAW di Malang waktu itu berjalan lebih kurang selama dua tahun. Tamatlah Kitab Tauhid tersebut.”
(selesai nukilan)
Pengajaran yang dilakukan oleh Drs. Dja’far Soedjarwo tersebut ternyata menarik minat Kepala Jawatan Rohani Islam Kodam Brawijaya saat itu – Letkol. Abdul Moechid – untuk menerbitkan terjemahan Kitab Tauhid dalam bahasa Indonesia. Maka kemudian Letkol. Abdul Moechid memerintahkan kepada delapan orang Imam Militer Kodam Brawijaya untuk mengoreksi dan memperbaiki redaksi terjemahan Kitab Tauhid yang sebelumnya telah dikerjakan secara lengkap oleh Drs. Dja’far Soedjarwo dalam bahasa Indonesia tersebut. Delapan orang Imam Militer Kodam Brawijaya tersebut adalah Abdul Moechid, Drs. Abd. Rasyid, Drs. Fahadaina, H. Helmy Yusran, B. A., Al Khamdani, B. A., Umar Effedi, B.A., KH. Usman Mansur, dan KH. Bey Arifin.
Usaha yang dirintis oleh para Rohaniawan Islam dari Kodam Brawijaya tersebut akhirnya membuahkan hasil berupa terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia atas Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Terjemahan ini diberi judul dahsyat dan lugas : “Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk” dan diterbitkan oleh penerbit Bina Ilmu Surabaya pada tahun 1979. Terjemahan ini diberi kata pengantar oleh Bey Arifin (Lahir di Parak Laweh, Tilatang Kamang, Agam, Sumatra Barat, 29 September 1917 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 30 April 1995 pada umur 77 tahun) adalah seorang penulis dan pengajar Indonesia. Semasa hidupnya ia pernah dipercaya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Diambil dari Bey Arifin - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Bey_Arifin ) mewakili para penerjemah.
Dalam pengantarnya, Bey Arifin menceritakan latar belakang penerjemahan kitab ini :
“Beberapa tahun terakhir ini sudah berkurang cacian terhadap faham Wahabi, malah secara diam-diam semua ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab sudah banyak diajarkan dan disebarkan untuk kemurnian agama Islam dari penyelewengan-penyelewengan, baik mengenai kepercayaan (iman) atau peribadatan. Maka tepat betullah waktunya sekarang ini menyebarkan buku karawangan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, agar dapat diketahui dan dibaca oleh setiap ummat Islam bangsa kita. Lebih-lebih oleh mereka yang beberapa waktu sebelumnya sudah anti dan mencaci ajaran yang sangat berguna dan benar ini.”
Selanjutnya Beliau mengatakan :
“Kami percaya, bila setiap ummat Islam membaca dan merenungkan isi buku ini akan dapat membersihkan aqidah (tauhid) mereka dari segala kotoran syirk yang masih melekat pada diri mereka masing-masing.”
Beliau melanjutkan :
“Siapa saja yang sudah membaca buku ini dan mengetahui bagaimana aqidah tauhid yang benar itu, wajib menyebarkannya kepada siapa saja, dimana pun mereka berada. Lebih-lebih untuk diri sendiri dan keluarga. Sedapat-dapatnya dibacakan bab demi bab dalam pengajian-pengajian rutin di masjid-masjid dan mushalla-mushalla. Dan ajarkanlah di sekolah-sekolah umum dan madrasah-madrasah.”
(selesai nukilan)
Dari apa yang disampaikan oleh Bey Arifin di atas, dapat kita anggap bahwa penerjemahan dan publikasi Kitabut Tauhid yang dilakukan Bey Arifin dan kawan-kawannya merupakan episode lanjutan dari episode-episode awal dakwah yang telah dirintis oleh Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Ammar Faqih nanti kita sebutkan kisahnya.selain itu bapak Bey Arifin telah menerjemahkan Kitab Aqidah washitiyah karya SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH rohimahulloh dalam judul “Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk” edisi bagian kedua.
Terjemahan ini dikerjakan oleh 3 orang, yakni Bey Arifin, Ustadz Drs. H. Abd. Rasyid, dan Ustadz H. A. Alchamdany, serta diterbitkan oleh Bina Ilmu pada tahun 1987.
Terjemahan ini diberi judul "Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk : Bagian Kedua".
Mengapa disebut "Bagian Kedua" ?
Ini karena karya ini merupakan lanjutan dari bagian pertama yang berisi terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia atas Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Bagian pertama ini dikerjakan pula oleh Bey Arifin dengan dibantu oleh rekan-rekannya dari Kodam Brawijaya.
Ustadz Bey Arifin dkk memilih menggunakan judul atas kedua karya terjemahannya itu dengan judul : "Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk".
Ini tentu saja sebuah isyarat bahwa bagi Bey Arifin dkk, tauhid seorang muslim akan menjadi bersih, murni, dan lurus jika telah mengamalkan apa yang menjadi kandungan dari Kitab Tauhid dan Kitab Aqidah Wasithiyyah tersebut.
Lebih lanjut mengenai latar belakang diterbitkannya terjemahan Kitab Aqidah al Wasithiyyah ini, Bey Arifin menjelaskan sebagai berikut :
"Sebenarnya buku 'Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk' yang pertama baru berisi sebagian dari ilmu tauhid, yaitu Tauhid Uluhiyah."
"Sedang segi lain tauhid yaitu Tauhid Rububiyah belum diuraikan dalam buku tersebut. Guna melengkapi pengetahuan para pembaca tentang tauhid itulah, penerjemah tergerak untuk menerbitkan buku ini dan kami beri judul 'Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk' bagian kedua."
"Buku ini adalah terjemahan dari kitab 'al Aqiedah al Washitiyah' karangan Ibnu Taimiyah, yang berisi tentang uraian Tauhid Rububiyah dengan gamblang dan jelas, yang sengaja ditulis dengan metode dan sistematika yang sesuai bagi pelajar dan mahasiswa."
"Al-Aqiedah al-Wasithiyah secara harfiah berarti 'kepercayaan moderat', yang dimaksud adalah kepercayaan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yaitu suatu aliran tauhid yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, serta diikuti oleh para Sahabat dan para Ulama Salaf."
"Dengan menghidangkan buku 'Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk' bagian kedua ini, penerjemah bermaksud melengkapi perbendaharaan ilmu para pembaca yang budiman dengan ilmu tauhid yang benar. Insya Allah buku ini akan sangat bermanfaat bagi para pelajar dan mahasiswa serta umat Islam umumnya yang ingin memperdalam pengetahuan agamanya yang kita cintai ini."
(selesai nukilan)
Mengapa terjemahan Kitab Tauhid dijadikan bagian pertama ketimbang terjemahan Kitab Aqidah Wasithiyyah ?
Hal tersebut merupakan bentuk kefaqihan dan kejelian dari Bey Arifin dkk. Beliau memulainya dengan penjelasan dan dakwah tentang tauhid uluhiyyah (mengesakan Allah dalam ibadah), dimana hal ini juga merupakan hal yang pertama kali didakwahkan oleh Rasulullah kepada kaumnya. Bey Arifin jelas ingin meneladani Rasulullah ﷺ‌ dalam hal ini.
Kemudian setelah dipandang cukup pemahaman umat tentang tauhid uluhiyyah melalui penerjemahan Kitab Tauhid, barulah Bey Arifin dkk beranjak kepada marhalah yang kedua, yakni pemantapan sisi tauhid rububiyyah, dimana salah satu poin dalam pembahasan tauhid rububiyyah ini adalah pembahasan tentang aqidah nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Dan Kitab Aqidah Wasithiyyah merupakan kitab yang sangat representatif dalam menjelaskan hal tersebut. Apalagi dalam Kitab Aqidah Wasithiyyah diuraikan juga poin-poin penting aqidah ahlus sunnah wal jama'ah lainnya yang wajib diketahui oleh seorang muslim, selain pembahasan tentang aqidah asma' wa shifat.
Hanya saja, sangat disayangkan pada edisi terjemahan bagian kedua ini terdapat kesalahan fatal pada cover buku, dimana masih mencantumkan nama Kitab at Tauhid dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai judul kitab dan penulisnya, padahal bukan.
Kekeliruan ini yang membuat beberapa kalangan yang hanya melihat cover saja tanpa isinya kemudian menganggap bahwa terjemahan bagian kedua ini sebagai lanjutan dari terjemahan Kitab Tauhid yang telah diterjemahkan sebelumnya.
Padahal terjemahan bagian kedua ini merupakan terjemahan Aqidah Wasithiyyah, bukan terjemahan Kitabut Tauhid.
Setelah kita mengetahui tentang keadaan para ROHANIAWAN ISLAM di KODAM V BRAWIJAYA Maka tidak heran bagi kita seorang Tentara dari madiun yang juga keturunan BRAWIJAYA V pernah mengutip pernyataan SYAIKHUL ISLAM TAIMIYYAH rohimahulloh. berikut kutipannya
√ WASIAT HR DJIMAT HENRO SOEWARNO TOKOH KOTA MADIUN.
HR Djimat Hendro Soewarno beliau adalah salah satu tokoh pencak silat di kota pendekar & kampoeng pesilat yaitu kotamadya & kabupaten Madiun Jawa Timur dimana beliau telah memberikan wejangan dari seorang tokoh ulama yang kuat mata bathin mata hatinya akan ilmu suluk yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh seorang ulama besar di zamannya yang juga seoarang kstaria mumpuni dalam medan jihad melawan Tatar Mongol dimana Mongol pada era beliau hidup banyak melakukan Ekspansi wilayah sebagaimana dalam sejarah Jawa pun dikenal ekspansi Mongol era jayakatwang raja Singasari dan peristiwa itu hampir bersamaan, kami telah pernah mengulas kegigihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh ini beberapa waktu lalu dalam akun FB kami juga
📝 Ditulis oleh HR Djimat Hendro Soewarno, beliau berkata ;
Kata Ibnu Taimiyah ( rohimahulloh ) ;
" Bahwasannya di dunia ini ada suatu surga, Barangsiapa belum pernah menempuhnya tidaklah dia akan menempuh surga di akhirat."
📖📚 Dikutip dari salah satu tulisan beliau HR Djimat Hendro Soewarno, ditulis tahun 1965, halaman 28-29
📜Teks Arabnya Dari kitab aslinya ;
✍🏼 Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
سمعت شيخ الإسلام ابن تيمية قدّس الله روحه يقول:
إن في الدنيا جنة من لم يدخلها لم يدخل جنة الآخرة.
"Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –qaddasallahu ruhah– berkata: "Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga (ketentraman hati) yang barangsiapa tidak bisa memasukinya maka dia tidak akan masuk ke surga akhirat."
📚 Madarijus Salikin, jilid 1 hlm. 452
Catatan tambahan;
📚 Kitab yang berjudul Madarij al-Salikin,
Karya Ibnu Qayyim rohimahulloh sebagai murid Ibnu Taimiyyah rohimahulloh adalah kitab dalam masalah " OLAH BATHIN" ini merupakan komentar atas buku Manazil As-Sairin yang ditulis oleh Abu Isma'il Al-Harawy, salah satu tokoh dalam deretan ilmu "OLAH BATHIN" wafat 481 H/1088 M), sebuah kitab karya " OLAH BATHIN" yang bercorak sastra. Lebih tepatnya, bagaimana penulis menggunakan puisi sebagai medium untuk mengeksplorasi konsepnya.yang merupakan kitab rujukan bagi "AHLUL HIKMAH" maka diperlukan kitab yang terdapat kalimat dari ulama besar bernama Ibnu taimiyyah (rohimahulloh) yang "BAPAK" kutip pada kitab yang beliau tulis sebagaimana telah kami sebutkan diatas, kitab penjelas Manazil As-Sairin yang pas yaitu kitab MADARIJUS SALIKIN.
💎💎💎💎💎💎💎💎💎
📝 Dan ditulis pula oleh HR Djimat Hendro Soewarno, beliau berkata ;
Dan katanya pula (yakni berkata Ibnu Taimiyah rohimahulloh ) ;
" Apakah yang di lakukan oleh musuh musuhku kepadaku ? Surga dan jannahku ada dalam dadaku. Kemanapun aku pergi dia ikut dengan daku. Jika aku dimasukkan orang ke penjara, adalah khalwatku. Kalau aku di usir dari negeriku adalah ganti aku bertamasya. Jikalau aku keluarkan emas sepenuh benteng tempatku di penjara itu, akan jadi derma, belum juga dapat aku hargai kesyukuranku kepada Allah lantaran nikmatnya yang begini. Aku bukan terpenjara, sebab orang terpenjara, ialah yang dipenjara hatinya, ditengah perjalanan mencari Tuhannya. Aku bukan orang yang tertawan sebab orang yang tertawan ialah yang ditawan oleh hawa nafsunya."
📖📚 Dikutip dari salah satu tulisan beliau HR Djimat Hendro Soewarno, ditulis tahun 1965, halaman 28-29
📜 Teks Arab Dari kitab aslinya;
شيخ الإسلام ابن تيمية قدّس الله روحه يقول :
"ما يصنع أعدائي بي؟ أنا جنتي وبستاني في صدري، أين رحت فهي معي لا تفارقني، أنا حيسي خلوة، وقتلي شهادة، وإخراجي من بلدي سياحة."
📖📒 الوابل الصيب
Demikian diatas Atsar (pengaruh) SYAIKHUL ISLAM TAIMIYYAH rohimahulloh serta SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDULWAHHAB rohimahulloh di lingkup KODAM V BRAWIJAYA hingga mencapai kota MADIUN,
Jauh sebelum itu pengaruh diantara pengaruh SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDULWAHHAB rohimahulloh dainyaranya ;
1. Pertama SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDULWAHHAB rohimahulloh ini muncul di bumi Serambi Makkah Aceh, dan dipelopori oleh seorang tokoh bernama Teungku Haji Ahmad Hasballah (lahir pada tanggal 03 Juni 1888 M atau 23 Ramadhan 1305 H) dari Dayah Indrapuri, Aceh.
Sejarawan Aceh A. Hasymy menulis bahwa pada tahun 1922 Teungku Haji Ahmad Hasballah diangkat, berdasarkan musyawarah ulama-ulama setempat, sebagai pemimpin Dayah Indrapuri. Teungku Haji Ahmad Hasballah sendiri diketahui pernah belajar di Makkah.
Selama berada dibawah kepemimpinan Teungku Haji Ahmad Hasballah, Dayah Indrapuri semakin maju dan bertambah banyak murid-murid yang datang untuk belajar. Teungku Haji Ahmad Hasballah saat itu bertekad untuk memperbaharui pendidikan Islam di Dayah Indrapuri dengan meningkatkan pendidikan iman dan ibadah. Sesuai dengan ajaran yang diterimanya ketika di Makkah – yakni ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab – maka iman dan ibadah yang murni adalah syarat mutlak bagi umat Islam jika ingin bangkit dan maju serta terhormat kembali.
A. Hasymy kemudian menyebutkan bahwa dalam melaksanakan program pembaharuan pendidikan Islam di Dayah Indrapuri tersebut, Teungku Haji Ahmad Hasballah menggunakan Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai salah satu kitab referensi dalam kegiatan belajar mengajar.
Teungku Haji Ahmad Hasballah sendiri di kemudian hari setelah berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) diangkat menjadi Ketua Majelis Syura PUSA. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Beliau bersama-sama dengan para ulama Aceh lainnya mengeluarkan fatwa jihad yang menyatakan kewajiban jihad untuk mempertahankan kemerdekaan dan jika tewas dalam perjuangan itu maka mati syahid. Fatwa tersebut dikeluarkan pada 15 Oktober 1945, seminggu sebelum fatwa resolusi jihad K. H. Hasyim Asy’ari dikeluarkan.
Teungku Haji Ahmad Hasballah wafat pada 26 April 1959 Masehi atau bertepatan pada tanggal 17 Syawal 1378 Hijriah.
2.Diantara pengaruh Kedua SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDULWAHHAB adalah tentang Ammar Faqih.
Tentang yang kedua muncul dari Pulau Jawa, yakni pengalaman Pondok Pesantren Maskumambang Gresik Jawa Timur. Pada awalnya, pesantren ini bercorak tradisionalis seperti pesantren pada umumnya saat itu. Namun ketika kepemimpinan dipegang oleh Syaikh Ammar Faqih sepulangnya belajar di Makkah, haluan pesantren mulai pelan-pelan diubah, hingga kemudian Pesantren Maskumambang menjadi salah satu pesantren bercorak “Wahhabi” yang mengajarkan kitab-kitab karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Menurut penelitian Haji Mundzir Suparta dalam bukunya berjudul “Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat”, Ammar Faqih terpengaruh ajaran Wahhabi yang diajarkan oleh gurunya di Makkah yang bernama Syaikh Umar Hamdan. Wallahu a’lam.
Pendekatan yang dilakukan Ammar Faqih, yang kemudian dilanjutkan oleh penerus-penerusnya, dalam mengubah haluan pesantren dilakukan dengan sangat hati-hati sekali dan memperhatikan kondisi sosiologis dan psikologis masyarakat yang ada di sekitar pesantren.
Ammar Faqih yang sebenarnya sudah terpengaruh “langsung” oleh ajaran dan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ketika Beliau belajar di Makkah, namun saat memimpin Pesantren Beliau belum berkenan langsung mengajarkan kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada santri dan masyarakat di sekitarnya karena beberapa alasan.
Dalam situs resmi Ponpes Maskumambang diceritakan metode dakwah Ammar Faqih tersebut di atas :
“Pada masa kepemimpinan KH. Ammar Faqih, Maskumambang menjadi pusat penyebaran gerakan reformasi dan gerakan salafiyah, yakni gerakan yang mengajak ke arah perbaikan di bidang aqidah serta memurnikan syari’at dari segala bid’ah, khurafat serta sisa-sisa animisme yang telah merusak syari’at dan mengajak untuk menolak segala taqlid buta dan fanatik madzhab, mengajak kembali ke sumber murni agama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perubahan faham keagamaan dimulai dengan mengganti kitab pegangan santri dalam bidang aqidah, dari kitab Aqidah al-Awwam diganti kitab karangan beliau berjudul Tuhfatul ummah fil ‘aqaaid wa raddi mafaasid. Beliau tidak menggantinya dengan kitab al-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab, karena alasan sosiologis, yakni adanya anggapan negatif di kalangan masyarakat dan tokoh-tokoh ulama terhadap para tokoh Wahabi. Adapun pelajaran Fiqih, tetap menggunakan kitab-kitab yang dipergunakan KH. Muhammad Faqih. Dengan demikian, menurut penuturan santri KH. Ammar Faqih, pada masa awal kepemimpinan beliau tradisi yang ada masih tetap dipertahankan.”
(selesai nukilan)
Tentang Kitab “Tuhfatul Ummah” karya Syaikh Ammar Faqih sebagaimana disinggung di atas, kita simak resensi kitab tersebut sebagaimana kami nukil dalam website resmi Pesanteren Maskumambang :
“Selain memimpin pesantren, Beliau (Syaikh Ammar Faqih) mencurahkan fikiran untuk kemajuan ummat Islam dalam bentuk tulisan. Salah satu tulisan beliau berjudul Tuhfatul Ummah fil ‘Aqaaid wa Raddi Mafaasid, diterbitkan di Mesir dengan disertai sambutan dari ulama-ulama Mesir. Tuhfatul Ummah Fil ‘Aqaaid wa Raddi Mafaasid terdiri atas empat bab. Bab pertama membahas pengertian Tauhid dan makna kalimat tahlil. Menurut beliau, tauhid secara etimologis adalah ketentuan bahwa sesuatu itu satu. Sedangkan menurut terminologi syari’ah, tauhid berarti ketentuan bahwa dzat yang senantiasa Esa dan tidak ada yang lain bersama-Nya, baik dalam dzat, sifat atau pebuatan. Kalimat tahlil, La ilaha illa Allah, beliau artikan sebagai penetapan tauhid dan pengingkaran terhadap segala yang dapat menyekutukan-Nya.”
“Bab dua menguraikan hukum tauhid dan kerasulan Muhammad. Tauhid dalam bab ini dijelaskan sebagai inti ajaran agama yang mengandung konsekwensi setiap amal akan diterima jika didasari tauhid. Bab tiga menjelaskan seputar aqidah yang benar dan yang rusak, perdebatan ulama dalam bidang ilmu kalam, masalah Ahlussunnah Waljama’ah, dan masalah pentakwilan ayat-ayat mutasyabihat. Dalam aspek aqidah, KH. Ammar Faqih lebih banyak menekankan pada masalah yang berhubungan dengan bid’ah. Menurut beliau, kebiasaan membakar kemenyan, mendirikan bangunan di makam, menyarungkan kain di tempat-tempat keramat, semedi, ziarah ke makam para wali dengan mengharapkan sesuatu, dan amalan-amalan yang dianggap tradisional supaya diberantas, karena tidak sesuai dengan kebiasaan ulama salaf dan bukan dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Bab empat berisi ringkasan tentang ilmu kalam dan sifat-sifat Allah serta Rasul.”
(selesai nukilan)
Ada kisah menarik terkait kitab Tuhfatul Ummah ini. Kisah ini menyangkut respon K. H. Muhammad Faqih (ayah kandung Syaikh Ammar Faqih) atas kitab Tuhfatul Ummah karya anaknya tersebut. Berikut ini kisahnya :
Pembaharuan yang terjadi di Pondok Pesantren Maskumambang yang dimotori oleh Syaikh Ammar Faqih menimbulkan reaksi dari kalangan keluarga, terutama dari sang ayah K. H. Muhammad Faqih. Reaksi negatif sang ayah bermula sejak Syaikh Ammar Faqih menulis kitab Tuhfatul Ummah yang isinya tidak jauh berbeda dengan Kitabut Tauhid karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang berisi pemurnian tauhid. Dan sam-sama kita ketahui, K. H. Muhammad Faqih merupakan ulama tradisional yang sangat gigih menolak ajaran Wahhabi. Bahkan Beliau memiliki karya khusus yang membantah ajaran Wahhabi yang berjudul “‘An Nushush al Islamiyyah fii ar Radd ‘ala Madzhab al Wahhabiyyah”, yang pada beberapa waktu lalu diterbitkan kembali dalam bentuk terjemahan oleh penerbit Sahifa dengan judul “Menolak Wahabi” dengan tahqiq dari K. H. Aziz Masyhuri.
Ketika K. H. Muhammad Faqih mendengar bahwa anaknya telah menulis kitab yang berisi tentang pemurnian tauhid seperti ajaran Wahhabi dan meminta klarifikasi kepada anaknya, maka Ammar Faqih pun menunjukkan kitab Tuhfatul Ummah kepada ayahnya tersebut. Perselisihan antara ayah dan anak pun akhirnya terjadi. Perselisihan tersebut terjadi pada tahun 1932, dan terjadi selama beberapa minggu.
Untuk mengakhiri perselisihan tersebut, Ammar Faqih melakukan siasat. Syaikh Ammar Faqih meminta tolong ibunya untuk meletakkan kitab Tuhfatul Ummah di Mushalla tempat ayahnya shalat dengan maksud agar ayahnya mau membaca kitab tersebut. Usaha tersebut beberapa kali mengalami kegagalan. Bahkan K. H. Muhammad Faqih tidak mau mengubah pendiriannya dan beranggapan bahwa anaknya telah mengikuti aliran sesat dan telah durhaka kepada orang tuanya serta para sesepuh pondok pesantren.
Ammar Faqih tidak putus asa. Beliau terus merayu ibunya agar mau meletakkan kitab Tuhfatul Ummah di tempat ayahnya. Hasilnya tidak sia-sia. Sang ayah pun akhirnya bersedia membacanya dan memahami apa isi yang terkandung di dalamnya. K. H. Muhammad Faqih pun sadar bahwa apa yang ditulis oleh Syaikh Ammar Faqih tersebut memanglah benar dan pemikiran anaknya itu tidak salah karena buku tersebut berisi tentang pemurnian aqidah dan syari’ah Islam yang sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Sunnah.
Maka kemudian K. H. Muhammad Faqih pun memanggil seluruh anaknya dan dikumpulkan untuk memberitahukan bahwa nanti yang akan meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Maskumambang adalah Ammar Faqih. Sejak saat itu buku-buku karangan Ammar Faqih diperbolehkan untuk diajarkan kembali di Pondok Pesantren Maskumambang.
Kisah tersebut diatas dinukil dari penelitian (skripsi) pada tahun 2016 yang berjudul “Dinamika Pengembangan Pondok Pesantren Maskumambang Tahun 1937 – 1977 M (Studi Pembaharuan dalam Bidang Aqidah oleh K. H. Ammar Faqih dan K. H. Nadjih Ahjad)” karya Saadatul Hasanah, mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Saadatul Hasanah sendiri meriwayatkan kisah diatas berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang keturunan Ammar Faqih, yakni K. H. Marzuki Ammar, di Gresik pada 16 November 2015.
Dari kisah tersebut diatas apakah bisa disimpulkan bahwa K. H. Muhammad Faqih telah ruju’ dan menarik pendapat-pendapatnya yang Beliau tulis dalam buku An Nushush al Islamiyyah ? Wallahu a’lam. Namun jika menilik bahwa K. H. Muhammad Faqih, pada masa-masa akhir hanyat Beliau, membiarkan kitab Tuhfatul Ummah diajarkan di pesantren serta kemudian berwasiat agar kepemimpinan Pesantren kelak diberikan kepada Syaikh Ammar Faqih, maka berat sekali untuk tidak mengatakan bahwa K. H. Muhammad Faqih telah ruju’ dan menarik pendapat-pendapat lamanya tentang Wahhabi.
Apa yang dilakukan oleh Ammar Faqih tersebut di atas lebih merupakan sebuah siasat dakwah yang pada akhirnya sangat berhasil “menyusupkan” ajaran Wahhabi tanpa harus dengan mengajarkan kitab-kitab Wahhabi secara langsung.
Pada tahun 1943, Ammar Faqih mengikuti latihan para kyai yang diadakan oleh pemerintah militer Jepang di Jakarta. Namun, meskipun Ammar Faqih ini mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Jepang, Ammar Faqih juga menganggap bahwa Jepang adalah kafir sehingga aturan dan perintahnya tidak boleh dipatuhi. Anggapan tersebut membuat Ammar Faqih sempat dimasukkan ke dalam penjara oleh tentara Jepang selama beberapa bulan, sehingga berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang ada di Pondok Pesantren Maskumambang.
Sejak penerbitan kitab “Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk”, ajaran-ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi semarak dan berkembang. Apalagi dengan dibukanya kran beasiswa belajar ke Arab Saudi atas jasa Muhammad Natsir yang bekerja sama dengan Raja Faishal. Semakin banyak orang Indonesia yang belajar langsung ke negeri Wahabi Arab Saudi dan mengajarkannya kepada masyarakat Indonesia sepulangnya dari sana.
Pada tahun 1980 Bapak Nadjih menantu atas permintaan dari Muhammad Natsir mengikuti acara “Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammad bin Su’ud di Riyadh, Arab Saudi . Dan menyampaikan makalah beliau “Ta’tsirah kitab al-Tauhid fi al-Harakat al-Ishlahiyyah al-Diniyah bi Indonesia”. Naskah asli makalah atau buku tersebut berbahasa Arab, yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka Abd Muis Bangil pada Oktober 1981 dengan judul “Pengaruh Wahabi di Indonesia.”
⚰️ Wafatnya Sang Proklamator Bung Karno Wafat dan keinginan di Sholati Jenazah di imam_i oleh BUYA HAMKA.
Saat Kafrawi, Sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Soeharto, datang ke rumah Hamka membawa pesan dari keluarga Sukarno pada 16 Juni 1970.
Pesannya, Buya Hamka dengan sangat hormat diminta mengimami shalat jenazah Sukarno.
“Jadi beliau sudah wafat?” kata Hamka bertanya kepada Kafrawi.
“Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.”
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,” kata Sukarno berpesan.
Kenapa beliau minta di Sholati Jenazahnya oleh BUYA HAMKA sang buku PENULIS TASAWUF MODERN, HAMKA menceritakan kekagumannya pada SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH ROHIMAHULLOH Karena WAHABI dalam buku OOETOSAN WAHABI lah yang membuat beliau Ir Soekarno percaya dengan AQIDAH yang di yaqini BUYA HAMKA dalam pada waktu itu Kerana belum ADA SUNNY SALAFY MURNI seperti sekarang ini.
Sudah bukan rahasia lagi jika Ibnu Taimiyyah dan orang Wahabi sering dipuji Hamka dalam buku-bukunya. Bahkan ketika menulis tentang Tasauf pun Hamka tak luput memuji. Ketika beliau menjadi Guru Besar Ilmu tasauf di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta tahun 1958, beliau berpidato, kelak pidatonya ini dicetak dan dijadikan buku. Lagi-lagi -dalam kapasitasnya sebagai Guru Besar Ilmu Tasauf- Hamka memuji Ibnu Taimiyyah dan Wahabi.
Kata beliau: “Di zaman-zaman mulai berkembangnya Agama Islam di tanah air kita ini, lahirlah seorang alim, kelaknya akan memegang peranan besar dalam peninjuan perkembangan Tasauf yang telah jauh terpisah dari Tauhid. Orang itu ialah Ibnu Taimiyah (meninggal pada tahun 728 H – 1327 M). Ajaran Ibnu Taimiyah ialah mengembalikan pangkalan tempat bertolak fikiran dan pandangan hidup Muslimin kepada Tauhid yang bersih !”.
Hamka beranggapan ajaran Ibnu Taimiyyah telah disambut oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab (1112-1198 H/1703-1783 M), apalagi keduanya dari pengikut Hanbali. Jadi ketika Buya memuji Ibnu Taimiyyah, kena juga pujian itu kepada Wahabi. Syaikh Ibn Abdil Wahab dipandang Hamka berhasil memasukan ajaran Ibnu Taimiyyah kepada Amir Dar’iyah, “Kerajaan inilah kemudiannya yang menganut tauhid, menghancurkan keberhalaan, penyembahan kubur, menentang ajaran Tasauf yang sesat lagi menyesatkan. Dari keturunan Amir Dar’iyah inilah lahir Kerjaan Sa’udi”.Lalu beliau menekankan diakhir bahwa para pembaharu ini adalah “... pembukaan jalan baru bagi Islam, untuk mengembalikan Tasauf pada pangkalnya”.
bahkan beliau SAMPAI minta Jenazahnya di tutupi kerandanya dengan bendera gerakan yang DI VONIS SEBAGAI WAHABI. sebagaimana dipaparkan ibu Puan maharani sang CUCU dalam seminar di UIN Syarif Hidayutulloh Jakarata.
Sedikit tambahan ;
Dari Utusan Wahabi hingga NKRI merdeka
Syaikh ‘Abd al-Hamîd ibn Ahmad al-Khatîb ibn ‘Abd al-Lathîf al-Minânkabâwî al-Makkî (1316-1381 H/ 1898-1961 M), cendikiawan sekaligus diplomat Saudi Arabia keturunan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916 M). Putra dari Ahmad al-Khatîbal-Minânkabâwî guru dari pada 2 tokoh pendiri ormas Islam yaitu Ahmad Dahlan dengan Muhammadyahnya, Hasyim Asy'ary dengan Nahdatul Ulamanya.
Ketika menuliskan kitab tafsirnya ( “Tafsîr al-Khatîb al-Makkî” ) ini, ‘Abd al-Hamîd al-Khatîb berstatus sebagai pengajar di Masjid al-Haram di Mekkah. Rumahnya ramai oleh para pelajar yang mengaji ilmu-ilmu keagamaan, khususnya mereka yang berasal dari negeri Jawi (Nusantara). Selama menjadi pengajar, ‘Abd al-Hamîd al-Khatîb terbilang produktif menulis. Selain “Tafsîr al-Khatîb al-Makkî”, ia juga menghasilkan beberapa karya lainnya, semisal “Asmâ al-Risâlât”,
Kitab Tafsir Abdul Hamid Khatib Minangkabau terhitung tafsir yang unik; selain ringkas tapi padat, juga bahasanya penuh nuansa sastra, di samping itu, tafsirnya juga memuat banyak hal unik, dari kisah sejarah ringkas beberapa negara, paparan realitas yang sesuai tema ayat, pemuatan bait-bait syair beliau sendiri, hingga kritikan pada penyimpangan-penyimpangan akidah yang beliau saksikan di berbagai negeri Islam.
Salah satu bahasan terpanjang dalam tafsirnya ini adalah pembelaan berapi-api beliau terhadap SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH, IBNU QOYYIM AL JAUZIYAH, serta SYAIKH MUHAMMAD bin ABDULWAHHAB ROHIMAHUMULLOH serta gerakan "Wahabiyah" dalam menyerukan dakwah tauhid yang murni, serta membasmi penyakit TBC yang saat itu melanda umat Islam.
salah satu bahasan ringkas tapi unik dalam tafsirnya ini adalah tentang kemerdekaan Indonesia. Beliau memaparkan hal itu setelah menceritakan faktor kesuksesan Malik Abdul Aziz dalam mempersatukan wilayah Arab Saudi dan menguasai Hijaz, Mengembalikan Marwah ALU SAUD (KELUARGA IBNU SAUD) setelah tumbangnya KERAJAAN ARAB SAUDI periods pertama Dan periods Kedua.
Beliau menceritakan (dengan ringkasan saya):
"Pada tahun 1937 M, Malik Abdul Aziz (Raja Arab Saudi) mengutusku sebagai wakilnya untuk menziarahi Indonesia dan mencari tahu kondisi perjuangan kemerdekaannya. Saya pun mendapati di sana ada gerakan besar yang berupaya meraih kemerdekaan; mereka menyatukan berbagai organisasi dan mengadakan berbagai seminar untuk tujuan kemerdekaan.
Saya pun bertanya kepada salah satu figur pejuang mereka, "Apakah kalian tidak takut dengan pemerintah (Hindia Belanda)?"
Ia menjawab, "Tidak! Karena kami menuntut hak-hak (kemerdekaan kami), dan pemilik hak tak boleh takut untuk menuntut...
Saya bertanya lagi, "Apa yang menjadi sandaran kalian dalam berjuang? Kekuatan senjata apa yang kalian persiapkan agar bisa mengusir mereka dari negeri kalian?
Ia menjawab, "Kami tidak bersandar kecuali kepada Allah semata. Kami berupaya meraih hak kemerdekaan kami dengan kekuatan yang kami sanggupi, yaitu kekuatan persatuan kami dan keyakinan akan adanya kemenangan dari Allah!"
Nah, setelah saya mendengar ini dari figur besar tersebut, saya langsung meyakini bahwa mereka telah memahami hukum-hukum Allah dan akan berupaya mempraktikannya (setelah merdeka). Saat itulah, saya juga yakin bahwa mereka pasti akan dimerdekakan oleh Allah Ta'ala.
Setelah itu, saya memberitahukan kabar ini ke Malik Abdul Aziz, yang langsung mengagumi semangat keagamaan dan kemerdekaan rakyat Indonesia, bahkan beliau mendoakan agar rakyat Indonesia segera meraih kemerdekaan.
Beberapa tahun kemudian, Jepang menjajah Indonesia dengan berbagai penindasan, tapi rakyat Indonesia terus bersabar dan berjuang hingga Jepang terpaksa meninggalkan Indonesia dan meninggalkan berbagai alat perang yang kemudian dipakai oleh rakyat Indonesia dalam melawan Belanda kembali.
Ketika Indonesia merdeka, Malik Abdul Aziz mengutusku kembali sebagai wakilnya ke Indonesia untuk menghadiri upacara kemerdekaan di Jakarta. Saat itu, tampak bagi saya keagungan Allah Ta'ala; yaitu saat bendera Belanda diturunkan dari istana presiden, dan diganti dengan bendera negara Islam (merah putih) ... "
(Tafsir Al-Khatib Al-Makkiy: 3/61-62)
Beliau juga bertemu dengan Presiden dan Wapres pertama NKRI yang juga pernah sangat kagum kepada IBNU SAUD ( Muhammad bin SAUD) Rohimahulloh pendiri Saudi periode pertama yang telah kami sebutkan sebelum ini.
📸 Foto Sampul beberapa buku yang adalah dalam tulisan diatas kami sampaikan pada kolom komentar.