Konon
di sebuah negeri antah berantah tersebutlah sebuah desa yang diberi otonomi
khusus, begitu khususnya desa tersebut sehingga para penduduknya bebas
melakukan apa saja untuk kemajuan desanya, termasuk yang melanggar hukum dan
terlarang di desa yang lain.
Di
desa tersebut, sebagian besar atau mayoritas di huni oleh para bromocorah,
residivis, koruptor, pencuri , pemabok, pezina dan pelaku kejahatan lainnya.
Namun
sudah menjadi sunnatullah, di desa tersebut sebagai penyeimbang juga di huni oleh
seorang Ulama dengan pondoknya berikut santri santrinya meski jumlahnya tidak
banyak. Dan desa tersebut juga di huni oleh orang terpelajar, dari profesor,
insinyiur SAG dan lain-lain.
Hingga
suat ketika pemerintah pusat mengumumkan , bahwa di desa tersebut masa
kepemimpinan kades yang lama sudah akan hadis periode jabatannya, dan di
haruskan adanya pemilihan kades yang baru dengan System “ siapa yang terbanyak
mendapat suara dari konstituennya dialah yang menang dan berhak memimpin desa
tersebut.
System
pemilihan itu di sebut demokrasi, yakni siapa yang paling banyak meraup suara
dialah pemenangnya, tidak ada bedanya, mau suara profesor, tukang becak,
insinyiur, pedagang, perampok, pezina pelacur, residivis, bahkan Kiayi ustad,
santri semuanya , satu orang satu suara “ dalam system ini katanya, “suara
terbanyak adalah suara tuhan, naudzu billah, bagaimana kalau yang terbanyak
adalah suara para penjahat, konon katanya system demokrasi adalah bahagian dari
system Islam, yakni yang dilakukan rasul ketika bermusyawarah untuk menghadapi
musuh dalam perang Uhud, Hmmm... shirah nabawi yang di fahami dan dimakan bulat-bulat.
Mulailah
suasana politik lokal memanas, ada dua kandidat yang dicalonkan. Pertama dari
kalangan yang menginginkan agar kampung tersebut menjadi kampung yang baldatun
tayyiban wa rabbun ghafur, yang dicalonkan adalah seorang ulama kharismatik di
kampung tersebut, isu kampanyenya ialah akan menjadikan desa tersebut bersih
dari segala macam maksiat dan para pelaku dosa. Calon kedua ialah berasal dari
kalangan pro pelaku maksiat, dengan isu kampanye ialah akan menjadikan kampung tersebut
sebagai surga para penjudi dan menjadi tempat aman bagi pelaku sex dan
kejahatan lainnya, kalau menang kepala desa yang terpilih akan mengajukan
proposal kepada pemerintah pusat, agar desa tersebut diberikan otonomi khusus
yang seluas luasnya untuk mengatur perekonomiannya sendiri, bahkan bisa
membayar pajak tinggi untuk kegiatan maksiat, serta dapat menghidupi sendiri
desa tersebut tanpa uluran tangan pemerintah pusat.
Hari
H atau hari pencoblosan pun tiba, semua penduduk dari kalangan profesi dan pejabat serta penduduk biasa dari
berbagai strata sosial dan ekonomi memenuhi setiap TPS yang disediakan, hingga
melewati shalat Dhohor baru selesai.
Mulailah
perhitungan suara di mulai , satu, dua tiga, empat kertas suara mulai di buka,
singkat cerita dan mudah di tebak yang meraup suara terbanyak ialah kandidat
dari kalangan pelaku maksiat, karena seperti cerita di atas dari kalangan
merekalah penduduk desa itu yang mayoritas.
Yah
!... mereka menang karena mendapat suara tuhan. “katanya...