KISAH PALSU ~TENTANG IMAM SYAFI'I BERTABARRUK /NGALAP BERKAH DI MAKAM IMAM ABU HANIFAH ???
Tulisan ini akan membahas secara ilmiah sisi kelemahan riwayat kisah tersebut disertai bukti pertentangannya dengan keyakinan Imam Asy-Syafi’i, maupun Abu Hanifah dan pengikut madzhabnya sendiri terkait hal-hal yang dibenci dilakukan terhadap kuburan, disertai dengan dalil hadits Nabi yang melarang perbuatan pengagungan terhadap kuburan. Semoga Allah senantiasa mengaruniakan hidayahNya kepada kita semua….
SYUBHAT :
Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri permnah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)
BANTAHAN :
Mengenai sanad riwayat tersebut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany menyatakan:
“ Ini adalah RIWAYAT YANG LEMAH BAHKAN BATIL.. Karena sesungguhnya perawi yang bernama Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidaklah dikenal. Tidak ada penyebutan tentangnya sedikitpun dalam kitab-kitab tentang perawi.
Bisa jadi yang dimaksud adalah ‘Amr (dengan fathah pada ‘ain) bin Ishaq bin Ibrohim bin Humaid bin as-Sakn Abu Muhammad at-Tuunisi.
Al-Khotib (al-Baghdady) menyebutkan biografinya dan menyatakan bahwa ia adalah Bukhary (berasal dari Bukhara) datang ke Baghdad dalam rangka menunaikan haji pada tahun 341 H.
Tetapi (al-Khotib) tidaklah menyebutkan jarh(celaan), tidak pula ta’diil (pujian) sehingga dalam kondisi ini ia adalah majhuulul haal (keadaanya tidak dikenal).
(Tetapi) kemungkinan (bahwa ia adalah ‘Amr) jauh, karena tahun kematian syaikhnya : Ali bin Maymun pada tahun 247 H menurut kebanyakan pendapat. Sehingga jarak kematian antara keduanya adalah sekitar 100 tahun, sehingga jauhlah kemungkinan bahwa keduanya pernah bertemu” ( Lihat Silsilah al-Ahaadits Adh-Dhaifah juz 1 halaman 99).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam Iqtidho’ Shirothol Mustaqiim halaman 165:
ﻭﻫﺬﺍ ﻛﺬﻟﻚ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﻛﺬﺑﻪ ﺑﺎﻻﺿﻄﺮﺍﺭ ﻋﻨﺪ ﻣﻦ ﻟﻪ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺑﺎﻟﻨﻘﻞ ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻟﻤﺎ ﻗﺪﻡ ﺑﻐﺪﺍﺩ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺑﺒﻐﺪﺍﺩ ﻗﺒﺮ ﻳﻨﺘﺎﺏ ﻟﻠﺪﻋﺎﺀ ﻋﻨﺪﻩ ﺍﻟﺒﺘﺔ ، ﺑﻞ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻫﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ ، ﻭﻗﺪ ﺭﺃﻯ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺑﺎﻟﺤﺠﺎﺯ ﻭﺍﻟﻴﻤﻦ ﻭﺍﻟﺸﺎﻡ ﻭﺍﻟﻌﺮﺍﻕ ﻭﻣﺼﺮ ﻣﻦ ﻗﺒﻮﺭ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ، ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺤﺎﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪﻩ ﻭﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﺃﻣﺜﺎﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ . ﻓﻤﺎ ﺑﺎﻟﻪ ﻟﻢ ﻳﺘﻮﺥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺇﻻ ﻋﻨﺪﻩ . ﺛﻢ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﺩﺭﻛﻮﻩ ﻣﺜﻞ ﺃﺑﻲ ﻳﻮﺳﻒ ﻭﻣﺤﻤﺪ ﻭﺯﻓﺮ ﻭﺍﻟﺤﺴﻦ ﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﻭﻃﺒﻘﺘﻬﻢ ، ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻮﻧﻮﺍ ﻳﺘﺤﺮﻭﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻻ ﻋﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﻻ ﻏﻴﺮﻩ .
ﺛﻢ ﻗﺪ ﺗﻘﺪﻡ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺛﺎﺑﺖ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﺗﻌﻈﻴﻢ ﻗﺒﻮﺭ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻗﻴﻦ ﺧﺸﻴﺔ ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ﺑﻬﺎ ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﻀﻊ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺤﻜﺎﻳﺎﺕ ﻣﻦ ﻳﻘﻞ
ﻋﻠﻤﻪ ﻭﺩﻳﻨﻪ .
"yang demikian ini telah dimaklumi kedustaannya secara idlthirar bagi orang yang memiliki pengetahuan tentang penukilan.
Karena sesungguhnya As-Syafi’i ketika datang ke Baghdad tidak ada di Baghdad kuburan yang sering dikunjungi (khusus) untuk berdoa di sisinya sama sekali.
Bahkan tidak pernah dikenal yang demikian di masa Asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, dan Mesir kuburan-kuburan para Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan orang-orang terdekatnya yang sebenarnya menurut beliau dan menurut kaum muslimin lebih mulia dari Abu Hanifah dan semisalnya dari kalangan para Ulama’.
Maka mengapa beliau tidak menyengaja datang kecuali ke sana (kubur Abu Hanifah). Kemudian, para Sahabat Abu Hanifah sendiri yang sempat mendapati kehidupan Abu Hanifah semisal Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, al-Hasan bin Ziyaad dan yang sepantaran dengan mereka.
Mereka tidak ada yang menyengaja berdoa di sisi kuburan, baik kuburan Abu Hanifah ataupun yang lainnya.
Kemudian, telah berlalu penjelasan dari Asy-Syafi’i hal yang telah disebutkan dalam kitab beliau tentang dibencinya pengagungan terhadap kubur para makhluq karena dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah. Sesungguhnya hikayat yang semacam ini diletakkan oleh orang yang sedikit ilmu dan (pemahaman) Diennya”.
Memang benarlah apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- bahwa salah satu bukti jelas kedustaan kisah tersebut adalah Imam Asy-Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya tentang dibencinya pengagungan terhadap kuburan.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sendiri :
ﻭﺃﻛﺮﻩ ﺍﻥ ﻳﻌﻈﻢ ﻣﺨﻠﻮﻕ ﺣﺘﻲ ﻳﺠﻌﻞ ﻗﺒﺮﻩ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻣﺨﺎﻓﺔ ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻲ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ
"dan aku benci makhluq diagungkan sampai kuburannya dijadikan sebagai masjid, (karena) dikhawatirkan adanya fitnah untuk dirinya dan untuk orang-orang setelahnya” (lihat al-Majmu’ karya Imam AnNawawi juz 5 halaman 314, al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i sendiri juz 1 halaman 317).
Benar pula perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa di masa hidup Imam Asy-Syafi’i tidak ada kuburan yang dibangun dan disediakan tempat yang memungkinkan untuk berdoa khusus di sisinya.
Hal ini karena memang para pemerintah muslim pada waktu itu memerintahkan untuk menghancurkan bangunan-bangunan pada kuburan, dan sikap pemerintah muslim tersebut tidak dicela oleh para fuqaha’ (ahli fiqh) pada waktu itu, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Asy-Syafi’i:
ﻭﻗﺪ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻻﺓ ﻣﻦ ﻳﻬﺪﻡ ﺑﻤﻜﺔ ﻣﺎ ﻳﺒﻨﻰ ﻓﻴﻬﺎ ﻓﻠﻢ ﺃﺭ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻳﻌﻴﺒﻮﻥ ﺫﻟﻚ
" dan aku telah melihat para waliyyul amri (pemimpin muslim) di Mekkah yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan. Aku tidak melihat para Fuqoha’ (Ulama’ ahli fiqh) mencela hal itu” (Lihat kitab al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i juz 1 halaman 316, al-Majmu’ karya Imam AnNawawy juz 5 halaman 298).
Sikap para pemimpin muslim yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan tersebut memang sesuai dengan hadits Nabi:
ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮٍ ﻗَﺎﻝَ ﻧَﻬَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥْ ﻳُﺠَﺼَّﺺَ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮُ ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﻘْﻌَﺪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﺒْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
"dari Jabir beliau berkata : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang kuburan di’lepa’ (semen/kapur), diduduki di atasnya, dan dibuat bangunan di atasnya”(H.R Muslim)
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺍﻟْﻬَﻴَّﺎﺝِ ﺍﻟْﺄَﺳَﺪِﻱِّ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻲ ﻋَﻠِﻲُّ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﻃَﺎﻟِﺐٍ ﺃَﻟَﺎ ﺃَﺑْﻌَﺜُﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺑَﻌَﺜَﻨِﻲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﺗَﺪَﻉَ ﺗِﻤْﺜَﺎﻟًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻃَﻤَﺴْﺘَﻪُ ﻭَﻟَﺎ ﻗَﺒْﺮًﺍ ﻣُﺸْﺮِﻓًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺳَﻮَّﻳْﺘَﻪُ
"dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata: Ali (bin Abi Tholib) berkata kepadaku: Maukah kau aku utus sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku? Janganlah engkau tinggalkan patung/gambar bernyawa kecuali engkau hapus dan jangan tinggalkan kuburan yang diagungkan kecuali diratakan” (H.R Muslim. Sedikit faidah yang bisa diambil, ketika mensyarah hadits ini Imam AnNawawy menyatakan: ‘di dalamnya terdapat perintah mengganti/merubah gambar-gambar makhluk bernyawa’).
Perhatikan pula kalimat dalam kisah tersebut bahwa Asy-Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari. Ya, disebutkan dalam kisah itu ‘setiap hari’.
Bagi orang yang berakal, dan paham tentang perjalanan hidup Asy-Syafi’i jelas akan melihat sisi lain dari kedustaan kisah tersebut. Al-Imam Asy-Syafi’i banyak melakukan perjalanan menuntut ilmu dari satu negeri ke negeri yang lain.
Beliau dilahirkan di daerah Gaza (Syam) dan tumbuh besar di tanah suci Mekkah (sebagaimana dijelaskan Adz-Dzahaby dan al-Imam AnNawawi dalam Tahdzib Asma’ Wal Lughot (1/49)).
Beliau mempelajari fiqh awalnya di Mekkah dari Muslim bin Kholid Az-Zanji dan Imam-imam Mekkah yang lain seperti Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin ‘Iyaadl. Kemudian beliau pindah ke Madinah menuntut ilmu pada Imam Maalik.
Selanjutnya beliau pindah ke Yaman untuk berguru pada Muthorrif bin Maazin, Hisyam bin Yusuf al-Qodhy, dan beberapa ulama’ lain. Dari Yaman beliau menuju Iraq (Baghdad) untuk bermulaazamah (fokus menuntut ilmu) pada ahli fiqh Iraq yaitu Muhammad bin al-Hasan.
Beliau mengambil ilmu juga pada Isma’il bin ‘Ulyah, Abdul Wahhab ats-Tsaqofy, dan beberapa Ulama’ yang lain. Setelah beberapa lama di Iraq, beliau kemudian pindah ke Mesir, dan di Mesir inilah pendapat-pendapat baru (qoul qodiim) Imam Asy-Syafi’i sering dijadikan rujukan (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ pada bagian yang mengisahkan biografi Imam Asy-Syafi’i).
Perhatikanlah, demikian sibuk Imam Asy-Syafi’i dengan menuntut ilmu dari satu Syaikh (guru) ke syaikh yang lain. Beliau juga menempuh perjalanan lintas negeri.
Bagaimana mungkin setiap hari beliau berdoa di makam Abu Hanifah?
Bagaimana mungkin –jika memang berdoa di sisi makam dengan tawassul pada penghuni kuburan tersebut diperbolehkan menurut beliau- dikhususkan pada makam Abu Hanifah, padahal salah satu tempat menuntut ilmu beliau adalah Madinah, tempat dimakamkannya manusia terbaik, Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Negeri-negeri lain yang beliau singgahi banyak kuburan para Nabi, para Sahabat Nabi, tabi’in dan orang-orang yang jauh lebih utama dari Abu Hanifah, maka mengapa beliau mengkhususkan pada kuburan Abu Hanifah?
Padahal beliau tidaklah pernah mengambil ilmu langsung dari Abu Hanifah. Bagaimana bisa mengambil ilmu, jika tahun kematian Abu Hanifah bertepatan dengan tahun kelahiran beliau?
Selanjutnya, akan disebutkan penjelasan dari Ulama’ lain bahwa kisah tersebut memang dusta. Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan : “ hikayat yang dinukilkan dari Asy-Syafi’i bahwa beliau memaksudkan doa di sisi kuburan Abu Hanifah adalah kedustaan yang jelas” (Lihat Ighatsatul Lahafaan (1/246)).
Sebenarnya bagi orang yang mengerti kadar keilmuan Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, cukuplah hal itu sebagai penjelas.
Kami akan nukilkan ucapan ahlut tafsir Ibnu Katsir tentang guru sekaligus sahabatnya tersebut, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah agar orang-orang yang meremehkannya menjadi sadar (InsyaAllah suatu saat akan dikaji penjelasan tentang beliau khusus sebagai bantahan bagi orang-orang yang membencinya).
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan tentang beliau :
ﻭﻟﺪ ﻓﻲ ﺳﻨﺔ ﺇﺣﺪﻯ ﻭﺗﺴﻌﻴﻦ ﻭﺳﺘﻤﺎﺋﺔ ﻭﺳﻤﻊ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺍﺷﺘﻐﻞ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻭﺑﺮﻉ ﻓﻲ ﻋﻠﻮﻡ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺍﻷﺻﻠﻴﻦ ﻭﻟﻤﺎ ﻋﺎﺩ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﺎﺭ ﺍﻟﻤﺼﺮﻳﺔ ﻓﻲ ﺳﻨﺔ ﺛﻨﺘﻲ ﻋﺸﺮﺓ ﻭﺳﺒﻌﻤﺎﺋﺔ ﻻﺯﻣﻪ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻣﺎﺕ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻓﺄﺧﺬ ﻋﻨﻪ ﻋﻠﻤﺎً ﺟﻤﺎ ﻣﻊ ﻣﺎ ﺳﻠﻒ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﻓﺼﺎﺭ ﻓﺮﻳﺪﺍً ﻓﻲ ﺑﺎﺑﻪ ﻓﻲ ﻓﻨﻮﻥ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﻣﻊ ﻛﺜﺮﺓ ﺍﻟﻄﻠﺐ ﻟﻴﻼً ﻭﻧﻬﺎﺭﺍً ﻭﻛﺜﺮﺓ ﺍﻻﺑﺘﻬﺎﻝ ﻭﻛﺎﻥ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺍﻟﺨﻠﻖ ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﺘﻮﺩﺩ ﻻ ﻳﺤﺴﺪ ﺃﺣﺪﺍً ﻭﻻ ﻳﺆﺫﻳﻪ ﻭﻻ ﻳﺴﺘﻌﻴﺒﻪ ﻭﻻ ﻳﺤﻘﺪ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪ ﻭﻛﻨﺖ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺐ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻟﻪ ﻭﺃﺣﺐ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻧﻨﺎ ﺃﻛﺜﺮ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﻣﻨﻪ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﻃﺮﻳﻘﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻳﻄﻴﻠﻬﺎ ﺟﺪﺍً ﻭﻳﻤﺪ ﺭﻛﻮﻋﻬﺎ ﻭﺳﺠﻮﺩﻫﺎ
"beliau dilahirkan pada tahun 691 H. Banyak mendengar hadits, sibuk dengan ilmu, mahir dalam ilmu yang bermacam-macam khususnya ilmu tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu Ushul.
Dan ketika Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, beliau bermulazamah (memfokuskan diri untuk belajar pada Ibnu Taimiyyah), sampai meninggalnya Syaikh (Ibnu Taimiyyah), maka beliau mengambil darinya ilmu yang banyak, bersamaan dengan kesibukan beliau sebelumnya, sehingga jadilah beliau orang yang istimewa dalam beberapa bidang yang banyak.
Bersamaan dengan banyaknya kesibukan beliau menuntut ilmu siang malam, banyak beribadah, dan beliau baik bacaan (Quran)nya, baik akhlaqnya, memiliki sifat penyayang, tidak pernah dengki pada siapapun, tidak pernah menyakiti siapapun, tidak pernah mencari aib orang lain, tidak pernah dendam pada seorangpun, dan saya termasuk sahabat terdekatnya, dan manusia yang paling dicintainya, dan saya tidak mengetahui di zaman kami ada orang yang lebih banyak ibadahnya dibandingkan beliau. Beliau jika sholat (sunnah) sangat lama, memanjangkan waktu ruku’ dan sujudnya” (Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah juz 14 halaman 270).
Simaklah persaksian Ibnu Katsir tentang keilmuan dan akhlaq Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah.
Jika Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa hikayat itu dusta, tidaklah penilaian beliau itu bersifat tendensius karena membenci kelompok tertentu sehingga kemudian tidak obyektif.
Beliau bukanlah orang yang berakhlak buruk, suka dendam dan mencari aib orang lain. Beliau menilai kedustaan tersebut atas dasar keilmuan beliau.
Hal lain yang menunjukkan sisi kelemahan kisah itu –sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- adalah tidak adanya Sahabat/ murid dekat Abu Hanifah yang melakukan hal itu.
Tidak ada di antara mereka yang sering datang ke kuburan Abu Hanifah untuk berdoa dan bertawassul agar doanya lebih mudah dikabulkan.
Bagaimana tidak, jika perbuatan semacam itu dibenci oleh Abu Hanifah. Beliau tidak suka jika makhluk dijadikan perantara dalam doa seorang hamba kepada Allah.
Al-Imam Abu Hanifah berkata:
ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻻﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﺑﻪ ، ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺍﻟﻤﺄﺫﻭﻥ ﻓﻴﻪ ، ﺍﻟﻤﺄﻣﻮﺭ ﺑﻪ ، ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻔﻴﺪ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ } : ﻭﻟﻠﻪ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﺤﺴﻨﻰ ﻓﺎﺩﻋﻮﻩ ﺑﻬﺎ ﻭﺫﺭﻭﺍ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻠﺤﺪﻭﻥ ﻓﻲ ﺃﺳﻤﺎﺋﻪ ﺳﻴﺠﺰﻭﻥ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ {
“
"tidak sepantasnya bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kecuali denganNya, dan doa yang diijinkan dan diperintahkan adalah apa yang bisa diambil faidah dari firman Allah: ‘Hanya milik Allah asmaa-ul husna,, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan’ (Lihat Ad-Durrul Mukhtaar min Haasyiyatil Mukhtaar(6/396-397)).
ﻳﻜﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺪﺍﻋﻲ : ﺃﺳﺄﻟﻚ ﺑﺤﻖ ﻓﻼﻥ ﺃﻭ ﺑﺤﻖ ﺃﻧﺒﻴﺎﺋﻚ ﻭﺭﺳﻠﻚ ﻭﺑﺤﻖ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻭﺍﻟﻤﺸﻌﺮ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ
"adalah suatu hal yang dibenci jika seorang berdoa:’ aku memohon kepadaMu dengan hak Fulaan, atau dengan hak para Nabi dan RasulMu dan hak Baitul Haram, dan Masy-‘aril Haraam “ (Lihat Syarh Fiqhil Akbar lil Qoori halaman 189).
Kalau kita melihat sikap para Ulama’ Salaf, justru mereka mengingkari perbuatan orang yang berdoa di sisi makam untuk bertawassul. Kita ambil satu contoh yang dilakukan oleh ‘Ali bin Husain yang merupakan cucu Sahabat Nabi ‘Ali bin Abi Tholib.
Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Mushannafnya dan juga Ibnu Abi Syaibah :
ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺃﻧﻪ ﺭﺃﻯ ﺭﺟﻼ ﻳﺠﺊ ﺇﻟﻰ ﻓﺮﺟﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﻨﺪ ﻗﺒﺮ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻴﺪﺧﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻓﻴﺪﻋﻮ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻻ ﺃﺣﺪﺛﻚ ﺑﺤﺪﻳﺚ ﺳﻤﻌﺘﻪ ﻣﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﺟﺪﻱ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : ) ﻻ ﺗﺘﺨﺬﻭﺍ ﻗﺒﺮﻱ ﻋﻴﺪﺍ ﻭﻻ ﺑﻴﻮﺗﻜﻢ ﻗﺒﻮﺭﺍ ﻭﺻﻠﻮﺍ ﻋﻠﻲ ﻓﺈﻥ ﺻﻼﺗﻜﻢ ﺗﺒﻠﻐﻨﻲ ﺣﻴﺜﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ(
"dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa.
Maka Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’ (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).
Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany). Silakan dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman 228.
Demikianlah saudaraku kaum muslimin, sedikit penjelasan tentang kedustaan kisah tabarruk Imam Asy-Syafi’i di makam Imam Abu Hanifah.
Perlu dipahami, bahwa jika kita menyatakan secara ilmiah bahwa kisah itu dusta bukan berarti kita menuduh al-Khotib al-Baghdady sebagai pendusta. Beliau sekedar menyebutkan riwayat.
Dalam penyebutan riwayat, beliau mendapat khabar tersebut dari orang yang menyampaikan kepadanya, orang yang menyampaikan kepada beliau mengaku mendapat khabar dari orang yang di ‘atas’nya dan seterusnya.
Telah dijelaskan di atas bahwa pada rantaian perawi kisah tersebut terdapat orang yang majhul (tidak dikenal di kalangan para Ulama’ Ahlul Hadits yang ahli dalam meneliti periwayatan).
Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak kalimat-kalimat indah yang disampaikan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sebagai pelajaran penting bagi kita semua.
Beliau menyatakan kalimat-kalimat berikut ini:
ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺗﻢ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻲ ﺧﻼﻑ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻮﻟﻮﺍ ﺑﻬﺎ، ﻭﺩﻋﻮﺍ ﻣﺎ ﻗﻠﺘﻪ
"jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam maka berbicaralah dengan Sunnah itu dan tinggalkanlah ucapanku” (Lihat Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (9/106) dan Siyaar a’laamin Nubalaa’ karya Adz-Dzahaby juz 10 halaman 34).
ﻣﺘﻰ ﺭﻭﻳﺖ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ ﻭﻟﻢ ﺁﺧﺬ ﺑﻪ، ﻓﺄﺷﻬﺪﻛﻢ ﺃﻥ ﻋﻘﻠﻲ ﻗﺪ ﺫﻫﺐ
"Kapan saja aku meriwayatkan dari Rasulullah hadits shahih kemudian aku tidak berpegang (berpendapat) dengannya, maka persaksikanlah bahwa akalku telah pergi” (Lihat Siyar a’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34).
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻗﻠﺘﻪ ﻓﻜﺎﻥ ﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧﻼﻑ ﻗﻮﻟﻲ ﻣﻤﺎ ﺻﺢ، ﻓﻬﻮ ﺃﻭﻟﻰ، ﻭﻻ ﺗﻘﻠﺪﻭﻧﻲ
"semua yang aku ucapkan, jika ada (khabar) yang shohih dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menyelisihi ucapanku, maka itu lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah taklid kepadaku” (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34, al-Manaaqib karya Adz-Dzahaby (1/473))
Ditulis oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman
Silahkan baca artikel lainnya yang terkait dengan pos di atas
0 komentar
Posting Komentar
Sampaikan keritik dan saran anda