“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, (QS 2; 159)
Membaca terjemah ayat di atas mengingatkan saya sewaktu mengikuti Training mengajar untuk kelas TPA dan tahassus, waktu itu rasanya tidak mungkin saya bisa mengajar dengan minimnya pengetahuan agama yang saya miliki, namun ternyata dengan mengajarlah beberapa hal yang dapat saya peroleh di antaranya bertambahnya ilmu yang saya miliki secara autodidak hal ini karena tantangan dalam mengajar menjadikan saya mau tidak mau harus belajar lebih dalam lagi, baik melalui guru atau ustad yang rutin 3 kali seminggu memberikan bimbingan masalah aqidah juga belajar mendalami bahasa Arab kurang lebih selama 5 tahun di sebuah pesantren dengan cara pulang pergi setiap hari kecuali hari Jum,at dan Minggu dari jam 1 siang s/d jam 5 sore.
Ilmu , bukan hanya sebuah kosakata, namun sebuah ungkapan dengan makna mengetahui, karena itulah seilmiyah dan sebagus apapun sebuah buku, tidak dapat disebut sebuah ilmu atau pengetahuan melainkan sekedar kumpulan huruf yang menjadi kata lalu di rangkai menjadi sebuah kalimat, yang setelah disusun sedemikian rupa oleh ahlinya maka menjadi sebuah buku yang punya nilai tinggi.
Bahkan al-Qur,an pun akan hanya tinggal tulisannya manakala tak ada kepedulian bagi ummat ini untuk mendalami isinya.
Nah .. baru dikatakan ilmu manakala sudah terhujam jauh ke dalam hati dalam bentuk pemahaman. Seperti doa kita
“RABBI ZIDNI ILMU WAR ZUQNI FAHMA (Ya Allah berikan kami ilmu dan pemahaman yang mudah)
Adapun Faham adalah modal untuk kita mengajar, dengan faham (setelah kita tahu) akan menjadikan lebih mudah dalam menyampaikan.